Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Sabtu, 29 September 2012

Mintalah Sewajarnya


Terkadang kita merasa hidup berlaku tidak adil. Disaat kita merasa telah berusaha sekuat tenaga, hasil yang kita dapat tak sesuai harapan. Kadang kita mengeluh betapa hidup ini begitu berat tuk dijalani. Mungkin ada yang berpikir akan lebih baik jika hidupnya diakhiri. Benarkah seberat itu dunia ini tuk dijalani? Sekejam itukah nasib mempermainkan hidup seseorang?

Aku bertemu nenek ini secara tak sengaja. Hari Minggu itu ia lewat begitu saja di depanku yang sedang duduk santai bercengkerama dengan adik binaan. Tidak seperti orang pada umumnya, sang nenek berjalan sangat lambat seakan dunia disekitarnya terserap dalam sebuah slow-motion  film The Matrix. Tidak pernah sebelumnya aku menemukan seseorang berjalan selambat nenek itu.  
Maafin aku ya nek....

Seakan ada beban yang begitu berat harus dipikulnya tiap kali melangkah, satu per satu kakinya bergerak perlahan. Tak ia biarkan kaki di belakang bergerak sebelum ia yakin kaki yang di depan telah menapak mantap menahan tubuh ringkihnya. Dua kemungkinan, pikirku. Jika bukan beban yang ia gendong terlalu berat, maka tubuh rentanya yang begitu lemah untuk diajak bepergian. 

Sambil terus memperhatikan sang nenek yang keluar dari arah pemukiman warga, aku masih terus berbincang dengan adik di sampingku. Nampaknya ia tahu aku tertarik dengan kemunculan si nenek. Adik itu justru acuh tak acuh seakan hal itu menjadi pandangan yang ia lihat sehari-hari. Memang saat itu aku berada di lingkungan Jakarta yang tidak segemerlap tayangan sinetron atau sampul majalah turisme Kementerian Pariwisata. Ketika itu aku berada di lingkungan marginal ibukota. 

Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Mungkinkah ia tinggal sebatang kara? Apakah suami yang mungkin berusia lebih tua darinya telah meninggal dunia dan meninggalkannya seorang diri? Apakah ia tidak punya sanak saudara? Anak misalnya? Pun jika ada, apakah anak-anaknya saling lempar tanggung jawab untuk mengurusnya? Mungkinkah karena tidak ingin merepotkan nenek memilih hidup sendiri? Apakah bungkusan di punggungnya adalah jamu racikan atau gorengan pisang yang menjadi menumpukan hidup? Ah, aku tidak tahu.

Hampir lima menit berlalu, belum satu meter pun nenek itu lalui. Kau mungkin bertanya-tanya apa yang kemudian kulakukan. Apakah aku hanya memperhatikan saja tanpa berusaha melakukan sesuatu? Bukankah lebih baik membantu daripada sekedar melihatnya dari ujung mata? Apalagi jika sempat-sempatnya aku mengambil foto dan malah tidak memapahnya. Jika kau pembaca yang berpikiran positif, mungkin kau menyangka tentu saja aku tergerak membantu. Bila kau pembaca yang kritis, kau mungkin tidak percaya begitu saja dan masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya kulakukan? 

Popular