Pemandangan Kota Seattle (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Sejak tadi sore aku mencoba melengkapi
aplikasi pengajuan visa Amerika Serikat. Cuaca yang agak panas membuatku berteduh
ke kedai Burger King dan memesan sebuah vanilla sundae. Sambil menikmati es
krim itu, aku membuka laptop dan mulai mengisi formulir DS-160 secara online. Belum sempat terisi semua, aku
harus berhenti untuk menuju masjid, waktu Maghrib hampir habis sementara aku
belum juga shalat.
Bukannya melanjutkan isian aplikasi, selepas shalat
aku malah di sini, di kedai Starbucks langganan, dan mulai menulis blog. Kesal.
Mestinya akses Internet tersedia gratis, di sini malah harus memasukkan
kode-kode tertentu. Walhasil, aku pun tak bisa online. Jadi, sebaiknya aku menulis hal yang lain saja.
Surat
Cinta dari Washington
Tanggal 25 Maret 2015, aku menerima email dari
University of Washington. Isinya adalah letter
of acceptance (LOA) untuk melanjutkan studi di Foster School of Business,
jurusan Global Executive MBA (GEMBA). Aku sangat bersyukur. Yah, meskipun aku
belum bisa melanjutkan studi ke traditional MBA yang berdurasi dua tahun,
setidaknya jurusan yang aku pilih masih linear dengan studi sarjanaku.
Sebenarnya aku juga mendaftar ke universitas lain
untuk full-time MBA. Hanya saja, rangking kampus ini cukup tinggi. Aku pun telah
berusaha memenuhi standar yang diminta. Bila tak diterima di sini, aku
mengatakan pada diri sendiri untuk ambil program yang lain saja. Salah satu
tantangan mendaftar ke sekolah bisnis adalah admission fee yang lumayan besar. Bila aku mendaftar ke tiga kampus
saja dengan biaya pendaftaran masing-masing US$ 225, artinya aku harus
menyediakan US$ 675. Belum lagi bila dikonversi ke rupiah yang sempat menyentuh
Rp 13.200 per dolar AS, plus ditambah biaya lain-lain.
Setidaknya, satu unconditional
LOA sudah di tangan. Di sisi lain, aku juga telah mendapatkan LOA dari Leeds
University, UK, untuk program MSc International Business. Sayangnya, yang satu
ini masih conditional karena mereka
meminta syarat IELTS. Aku pun tak melanjutkan lagi proses ke sana.
Langkah selanjutnya adalah mengirimkan
LOA dari UW ke LPDP. Terus terang, sejauh ini aku senang dengan pola kerja LPDP
yang profesional dan responsif. Tanggal 28 Maret 2015, aku mengirimkan LOA ke
LPDP bersama dengan surat pengajuan pindah universitas. Prosedur ini harus
dilakukan karena kampus yang akan kumasuki berbeda dari rencana yang kubuat
dulu saat mendaftar beasiswa.
Tanggal 2 April 2015, aku mendapatkan balasan dari
LPDP. Direksi menyetujui pengajuan perpindahan universitas yang aku sampaikan.
Uniknya, sehari sebelumnya (1 April 2014), aku mendapat email lain dari LPDP
terkait draf kontrak beasiswa yang harus aku tanda tangani, berikut juga template dari letter of guarantee (LOG). Tanggal 2 April, aku pergi menuju kantor
LPDP di Gedung AA. Maramis II, Lapangan Banteng Timur, untuk menyerahkan
kontrak yang telah ditandatangani.
Sore di hari yang sama, aku menerima email lagi yang
menyampaikan LOG telah selesai ditandatangani Pak Abdul Kahar, Director of
Scholarship LPDP. Sementara itu, pengambilan kontrak ternyata memakan waktu agak
lama. Kontrakku baru selesai ditandatangani pada 23 April 2015. Mungkin,
kontrak yang harus ditandatangani sedang banyak sehingga LPDP butuh waktu lebih
lama. Aku baru mengambil kontrak tersebut beberapa hari berikutnya karena pekerjaan
di kantor juga sedang tak bersahabat.
Urus-Urus
Dokumen Kampus
Bagi yang belum familier dengan aplikasi kampus di
luar negeri, hal ini bisa cukup membingungkan. Setidaknya, ini terjadi padaku. Selain
karena harus berkomunikasi dengan beberapa lembaga (sponsor, kampus asal, dan
kampus tujuan), calon mahasiswa biasanya juga meraba-raba proses dan dokumen
yang perlu dikirimkan.
Biasanya, setelah melakukan konfirmasi penerimaan offer dari kampus tujuan melalui website, calon mahasiswa akan diminta
menghubungi sekolah asal untuk mengirimkan transkrip akademik. Ini sebagai
verifikasi dari dokumen yang disampaikan pendaftar pada saat mengisi online application kampus tujuan. Meski
begitu, tak semua kampus punya layanan pengiriman transkrip semacam ini.
Sesuai dengan transkrip yang aku sampaikan ke
University of Washington dulu, aku harus minta Universitas Paramadina (kampus
tempatku menyelesaikan studi S1) dan Arizona State University (tempatku belajar
American English and Culture Program) untuk mengirimkan transkrip ke UW. Untungnya, aku masih tinggal di kawasan Mampang yang dekat dengan Paramadina.
Sekitar tanggal 15 April 2015, aku pergi ke kampus untuk menemui Bagian
Akademik. Proses permintaan cukup mudah, namun ternyata kampus tidak punya
layanan pengiriman ke institusi lain.
Untuk kasus seperti ini, best practice dari orang-orang terdahulu adalah mengirimkan sendiri
dokumen tersebut melalui jasa pengiriman logistik, namun dengan mencantumkan
nama universitas sebagai pengirim. Aku pun mencari-cari informasi di internet
dan bertanya sana-sini. Akhirnya, kuputuskan untuk menggunakan jasa EMS (express mail service) milik Pos
Indonesia. Selain harganya paling murah dibandingkan DHL atau FedEx, aku ingin mencoba
layanannya seperti apa. Tanggal 17 April 2015, aku mengirimkan transkripku
melalui kantor pos di Mampang. Waktu itu, teller-nya mengatakan kiriman akan
sampai dalam 4-5 hari dengan biaya Rp 205.568. Setelah membayar, aku pun pulang
dengan tenang.
Sebelum menghubungi Paramadina, aku juga telah
berkomunikasi dengan ASU. Di dalam ponsel, sudah ada beberapa nama yang
familier untuk dihubungi, namun aku tidak tahu apakah mereka masih bekerja di
sana atau tidak. Akhirnya, aku putuskan untuk mengirim email ke alamat yang ada
di website AECP dan di-CC ke Eva,
salah satu kolega yang cukup dekat. Aku berharap ia masih bekerja di sana.
Tanggal 14 April 2015, aku mengirimkan email ke ASU.
Ternyata, keesokan harinya (pagi hari saat bagun tidur) aku menerima email dari
Eva. Untunglah ia masih bekerja di sana. Ia mengatakan (baca: menulis) sangat
senang mendengar kembali kabar dariku dan dengan senang hati akan mengirimkan
transkripku ke UW. Ia juga mengatakan bahwa aku tak usah membayar sepeserpun. Urusan
kirim-mengirim transkrip pun selesai, tapi masih ada PR lain yang menunggu.
Mengurus
I-20 dan Visa
Bagian lain dari proses pengurusan sekolah di Amerika
Serikat adalah adanya dokumen I-20 dari kampus tujuan. Dokumen ini diperlukan
untuk mengurus visa dan ditunjukkan pada petugas di entry point sebelum masuk
AS. Meski dikeluarkan oleh kampus tujuan, dokumen I-20 harus dikirim secara
fisik dan calon mahasiswalah yang menanggung biayanya.
Sesuai petunjuk dari UW, ada dua opsi pengiriman
I-20, yaitu melalui pos biasa dan express.
Bila regular mail service bisa
memakan waktu hingga sebulan lebih, layanan via express mail bisa sampai dalam hitungan minggu. Karena aku perlu
mengurus segala persiapan sesegera mungkin (kuliah perdana akan mulai pada
minggu ketiga bulan Juni), aku pun memilih express
mail.
UW mengatakan layanan ini bisa dilakukan melalui
eShipGlobal atau UEMS. Ini semacam perusahaan yang membantu mahasiswa untuk
mengambil dokumen dari kampus dan mengirimkannya ke alamat sang mahasiswa.
Langkah pertama yang kulakukan adalah membuat akun di website UEMS, lalu
mengisi informasi dari mana dokumen diambil dan ke mana hendak dikirimkan.
Tanggal 16 April 2015, aku membuat pemesanan
pengiriman melalui UEMS. Biaya yang harus dibayar adalah US$ 53,78. Meski
begitu, baru pada tanggal 21 April aku mendapat email dari UEMS bahwa dokumen
sudah diambil dari UW dan siap dikirimkan ke Jakarta via DHL. Rentang waktu
yang agak lama ini mungkin karena UW masih harus menunggu setidaknya salah satu
transkrip dari sekolahku telah mereka terima. Tanggal 23 April 2015, ibu indekos
mengirimkan SMS memberitahu ada kiriman dari University of Washington untukku.
Meski sudah menerima dokumen I-20, masalah belum
selesai. Di dalam I-20, adalah sebuah nomor keramat yang disebut SEVIS ID.
Mengapa keramat? Karena arti dari nomor ini adalah tagihan pembayaran yang lain
lagi. Mahasiwa harus masuk ke website SEVIS (dikelola oleh Homeland Security)
dan membayar SEVIS fee yang jumlahnya US$ 200. Ini harus dibayar sebelum
akhirnya bisa mengajukan visa ke Kedutaan Besar AS di Indonesia. Tentu saja,
biaya tadi tak termasuk biasa visa!
Kembali
ke Laptop!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar