Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Sabtu, 02 Mei 2015

Sekolah ke Kota Hujan, Seattle


Pemandangan Kota Seattle (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sejak tadi sore aku mencoba melengkapi aplikasi pengajuan visa Amerika Serikat. Cuaca yang agak panas membuatku berteduh ke kedai Burger King dan memesan sebuah vanilla sundae. Sambil menikmati es krim itu, aku membuka laptop dan mulai mengisi formulir DS-160 secara online. Belum sempat terisi semua, aku harus berhenti untuk menuju masjid, waktu Maghrib hampir habis sementara aku belum juga shalat.

Bukannya melanjutkan isian aplikasi, selepas shalat aku malah di sini, di kedai Starbucks langganan, dan mulai menulis blog. Kesal. Mestinya akses Internet tersedia gratis, di sini malah harus memasukkan kode-kode tertentu. Walhasil, aku pun tak bisa online. Jadi, sebaiknya aku menulis hal yang lain saja.

Surat Cinta dari Washington

Tanggal 25 Maret 2015, aku menerima email dari University of Washington. Isinya adalah letter of acceptance (LOA) untuk melanjutkan studi di Foster School of Business, jurusan Global Executive MBA (GEMBA). Aku sangat bersyukur. Yah, meskipun aku belum bisa melanjutkan studi ke traditional MBA yang berdurasi dua tahun, setidaknya jurusan yang aku pilih masih linear dengan studi sarjanaku.

Sebenarnya aku juga mendaftar ke universitas lain untuk full-time MBA. Hanya saja, rangking kampus ini cukup tinggi. Aku pun telah berusaha memenuhi standar yang diminta. Bila tak diterima di sini, aku mengatakan pada diri sendiri untuk ambil program yang lain saja. Salah satu tantangan mendaftar ke sekolah bisnis adalah admission fee yang lumayan besar. Bila aku mendaftar ke tiga kampus saja dengan biaya pendaftaran masing-masing US$ 225, artinya aku harus menyediakan US$ 675. Belum lagi bila dikonversi ke rupiah yang sempat menyentuh Rp 13.200 per dolar AS, plus ditambah biaya lain-lain.

Setidaknya, satu unconditional LOA sudah di tangan. Di sisi lain, aku juga telah mendapatkan LOA dari Leeds University, UK, untuk program MSc International Business. Sayangnya, yang satu ini masih conditional karena mereka meminta syarat IELTS. Aku pun tak melanjutkan lagi proses ke sana.

Langkah selanjutnya adalah mengirimkan LOA dari UW ke LPDP. Terus terang, sejauh ini aku senang dengan pola kerja LPDP yang profesional dan responsif. Tanggal 28 Maret 2015, aku mengirimkan LOA ke LPDP bersama dengan surat pengajuan pindah universitas. Prosedur ini harus dilakukan karena kampus yang akan kumasuki berbeda dari rencana yang kubuat dulu saat mendaftar beasiswa.

Tanggal 2 April 2015, aku mendapatkan balasan dari LPDP. Direksi menyetujui pengajuan perpindahan universitas yang aku sampaikan. Uniknya, sehari sebelumnya (1 April 2014), aku mendapat email lain dari LPDP terkait draf kontrak beasiswa yang harus aku tanda tangani, berikut juga template dari letter of guarantee (LOG). Tanggal 2 April, aku pergi menuju kantor LPDP di Gedung AA. Maramis II, Lapangan Banteng Timur, untuk menyerahkan kontrak yang telah ditandatangani. 

Sore di hari yang sama, aku menerima email lagi yang menyampaikan LOG telah selesai ditandatangani Pak Abdul Kahar, Director of Scholarship LPDP. Sementara itu, pengambilan kontrak ternyata memakan waktu agak lama. Kontrakku baru selesai ditandatangani pada 23 April 2015. Mungkin, kontrak yang harus ditandatangani sedang banyak sehingga LPDP butuh waktu lebih lama. Aku baru mengambil kontrak tersebut beberapa hari berikutnya karena pekerjaan di kantor juga sedang tak bersahabat.

Urus-Urus Dokumen Kampus

Bagi yang belum familier dengan aplikasi kampus di luar negeri, hal ini bisa cukup membingungkan. Setidaknya, ini terjadi padaku. Selain karena harus berkomunikasi dengan beberapa lembaga (sponsor, kampus asal, dan kampus tujuan), calon mahasiswa biasanya juga meraba-raba proses dan dokumen yang perlu dikirimkan.

Biasanya, setelah melakukan konfirmasi penerimaan offer dari kampus tujuan melalui website, calon mahasiswa akan diminta menghubungi sekolah asal untuk mengirimkan transkrip akademik. Ini sebagai verifikasi dari dokumen yang disampaikan pendaftar pada saat mengisi online application kampus tujuan. Meski begitu, tak semua kampus punya layanan pengiriman transkrip semacam ini.
Sesuai dengan transkrip yang aku sampaikan ke University of Washington dulu, aku harus minta Universitas Paramadina (kampus tempatku menyelesaikan studi S1) dan Arizona State University (tempatku belajar American English and Culture Program) untuk mengirimkan transkrip ke UW. Untungnya, aku masih tinggal di kawasan Mampang yang dekat dengan Paramadina. Sekitar tanggal 15 April 2015, aku pergi ke kampus untuk menemui Bagian Akademik. Proses permintaan cukup mudah, namun ternyata kampus tidak punya layanan pengiriman ke institusi lain.

Untuk kasus seperti ini, best practice dari orang-orang terdahulu adalah mengirimkan sendiri dokumen tersebut melalui jasa pengiriman logistik, namun dengan mencantumkan nama universitas sebagai pengirim. Aku pun mencari-cari informasi di internet dan bertanya sana-sini. Akhirnya, kuputuskan untuk menggunakan jasa EMS (express mail service) milik Pos Indonesia. Selain harganya paling murah dibandingkan DHL atau FedEx, aku ingin mencoba layanannya seperti apa. Tanggal 17 April 2015, aku mengirimkan transkripku melalui kantor pos di Mampang. Waktu itu, teller-nya mengatakan kiriman akan sampai dalam 4-5 hari dengan biaya Rp 205.568. Setelah membayar, aku pun pulang dengan tenang.

Sebelum menghubungi Paramadina, aku juga telah berkomunikasi dengan ASU. Di dalam ponsel, sudah ada beberapa nama yang familier untuk dihubungi, namun aku tidak tahu apakah mereka masih bekerja di sana atau tidak. Akhirnya, aku putuskan untuk mengirim email ke alamat yang ada di website AECP dan di-CC ke Eva, salah satu kolega yang cukup dekat. Aku berharap ia masih bekerja di sana.

Tanggal 14 April 2015, aku mengirimkan email ke ASU. Ternyata, keesokan harinya (pagi hari saat bagun tidur) aku menerima email dari Eva. Untunglah ia masih bekerja di sana. Ia mengatakan (baca: menulis) sangat senang mendengar kembali kabar dariku dan dengan senang hati akan mengirimkan transkripku ke UW. Ia juga mengatakan bahwa aku tak usah membayar sepeserpun. Urusan kirim-mengirim transkrip pun selesai, tapi masih ada PR lain yang menunggu.

Mengurus I-20 dan Visa

Bagian lain dari proses pengurusan sekolah di Amerika Serikat adalah adanya dokumen I-20 dari kampus tujuan. Dokumen ini diperlukan untuk mengurus visa dan ditunjukkan pada petugas di entry point sebelum masuk AS. Meski dikeluarkan oleh kampus tujuan, dokumen I-20 harus dikirim secara fisik dan calon mahasiswalah yang menanggung biayanya.

Sesuai petunjuk dari UW, ada dua opsi pengiriman I-20, yaitu melalui pos biasa dan express. Bila regular mail service bisa memakan waktu hingga sebulan lebih, layanan via express mail bisa sampai dalam hitungan minggu. Karena aku perlu mengurus segala persiapan sesegera mungkin (kuliah perdana akan mulai pada minggu ketiga bulan Juni), aku pun memilih express mail.

UW mengatakan layanan ini bisa dilakukan melalui eShipGlobal atau UEMS. Ini semacam perusahaan yang membantu mahasiswa untuk mengambil dokumen dari kampus dan mengirimkannya ke alamat sang mahasiswa. Langkah pertama yang kulakukan adalah membuat akun di website UEMS, lalu mengisi informasi dari mana dokumen diambil dan ke mana hendak dikirimkan. 

Tanggal 16 April 2015, aku membuat pemesanan pengiriman melalui UEMS. Biaya yang harus dibayar adalah US$ 53,78. Meski begitu, baru pada tanggal 21 April aku mendapat email dari UEMS bahwa dokumen sudah diambil dari UW dan siap dikirimkan ke Jakarta via DHL. Rentang waktu yang agak lama ini mungkin karena UW masih harus menunggu setidaknya salah satu transkrip dari sekolahku telah mereka terima. Tanggal 23 April 2015, ibu indekos mengirimkan SMS memberitahu ada kiriman dari University of Washington untukku.

Meski sudah menerima dokumen I-20, masalah belum selesai. Di dalam I-20, adalah sebuah nomor keramat yang disebut SEVIS ID. Mengapa keramat? Karena arti dari nomor ini adalah tagihan pembayaran yang lain lagi. Mahasiwa harus masuk ke website SEVIS (dikelola oleh Homeland Security) dan membayar SEVIS fee yang jumlahnya US$ 200. Ini harus dibayar sebelum akhirnya bisa mengajukan visa ke Kedutaan Besar AS di Indonesia. Tentu saja, biaya tadi tak termasuk biasa visa!

Kembali ke Laptop!

Begitulah, sedikit proses yang harus dilalui calon mahasiswa untuk kuliah ke AS. Sejauh ini, semua proses itu sudah kulalui dan berhubung belum dapat ide bagaimana agar bisa online (kuota ponsel sudah hampir habis dan tak ada ATM untuk isi ulang), aku terus saja menulis. Aplikasi visa masih menggantung. Mungkin baru besok aku lanjutkan lagi. Sebenarnya, masih ada cerita lain yang mungkin perlu diketahui sebelum melanjutkan sekolah ke luar negeri, terutama ke AS. Di antaranya adalah imunisasi MMR (measles, mumps, rubella), insurance plan (beberapa kampus sudah memasukkan ini dalam tuition fee), cari apartemen (yang bila tak hati-hati bisa kena tipu), termasuk pembuatan paspor atau penggantian paspor bagi yang akan habis masa berlaku. Akan kuceritakan lain waktu saja. Selamat istirahat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular