Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Senin, 26 Juli 2010

Kemacetan yang Inspiratif


Bagi sebagian orang, kuliah pada hari Jum’at sore adalah kutukan, apalagi jika tempat kuliah itu berada di wilayah pusat kemacetan kota Jakarta. “Kutukan” itulah yang sedang aku jalani sekarang. Pada semester pendek ini aku mengambil mata kuliah anti korupsi. Sebuah mata kuliah aneh yang menjadi mata kuliah wajib bagi mahasiswa Universitas Paramadina.

Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi seandainya aku tidak telat mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) untuk semester pendek ini. Namun apalah daya, ketika aku akan mengisi, hanya tersisa satu kelas mata kuliah anti korupsi yang masih bisa diisi. Itupun dari sekian puluh mahasiswa yang dapat ditampung, hanya tersisa satu kursi. Akhirnya tanpa pikir lagi aku meng-click kelas tersebut.

Sementara lupakan dulu soal pengisian KRS yang banyak memakan korban (masalah kuceritakan nanti). Seluruh mata kuliah anti korupsi berlokasi di kampus II Universitas Paramadina, Energy Tower lantai 22, kawasan bisnis SCBD. Lokasinya cukup strategis karena ia diapit oleh jalan Sudirman, Senayan, dan Pacific Place. Sebagai sentra bisnis, bisa dibayangkan betapa sibuknya jalan-jalan ini oleh lalu lalang kendaraan. Apalagi jika hari akhir kerja menjelang weekend.

Banyak teman-temanku berkata bahwa kuliah sore, di kampus II, hari jum’at, adalah neraka. FYI, kuliah anti korupsi adalah kuliah 2 SKS yang dimulai dari jam 15.30 dan berakhir pada jam 17.10 WIB. Namun tidak jarang waktu kuliah melampaui batas waktu yang biasanya. Terkadang lebih sepuluh menit, atau bahkan lima belas menit. Kemacetan luar biasa selalu membayangi kawasan ini, apalagi pada jam-jam itu. Tidak hanya kendaraan, antrian panjang para penumpang juga ikut menyumbang kegelisahan hari Jum’at di SCBD. Menyangkut terminologi SCBD, ternyata banyak juga teman-temanku yang tidak tahu kepanjangannya. SCBD adalah singkatan dari Sudirman Central Business District. Itulah yang kuketahui melalui google. Hehehe…, akupun tidak tahu.


Namun belakangan aku menyadari bahwa kuliah hari Jum’at sore di kawasan SCBD tidaklah terlalu mengerikan, meskipun harus kuakui bahwa untuk pulang menuju Mampang Prapatan aku harus menghabiskan waktu hampir 2 jam di jalan, bahkan lebih. Meskipun hari ini Kompas merilis data bahwa dari total waktu perjalanan di Jakarta hanya 40% yang dapat digunakan bergerak, akhir-akhir ini aku berusaha untuk menjadikannya rekreasi model baru. Dengan sedikit mengubah perspektif, aku banyak belajar dalam perjalananku dari SCBD menuju Mampang.

Pagi hari ketika akan berangkat ke kantor ataupun memulai aktivitas, setiap orang akan berdandan dengan rapi dan mungkin menghabiskan waktu cukup lama mematut-matutkan diri di depan kaca. Mencari baju yang sesuai, matching sana-sini, menyisir rambut, menyemir sepatu, menyetrika baju, sampai memilih wangi parfum yang sesuai dengan suasana hati. Bahkan orang (sorry to say) paling jelek sekalipun akan menjadi cantik dan ganteng dalam balutan make-up dan riasan tubuh.

Namun setelah beraktvitas kurang lebih delapan jam dalam sehari dan lima hari dalam seminggu, apakah manusia-manusia pekerja ini masih dalam kondisi yang sama? Apakah mereka masih fresh seperti saat pertama berangkat? Apakah riasan dan make-up masih menor seperti sebelumnya? Apakah tatanan rambut masih berdiri stylish? Itulah realitas yang berusaha aku temukan jawabannya dalam ruwetnya kemacetan kota Jakarta menjelang akhir pekan!

Untuk menuju Mampang, ada beberapa alternatif pilihan transportasi yang dapat digunakan. Pertama, bus transjakarta. Dari kampus II Paramadina, aku hanya tinggal masuk ke halte busway Gelora Bung Karno yang berada tidak jauh dari sana. Namun karena rute busway yang berputar-putar, maka resiko menggunakan busway pada jam-jam pulang kantor dan di hari Jum’at adalah antriannya yang super-duper panjang!

Kedua, adalah terus melanjutkan perjalanan ke terminal Blok M lalu menyambungnya dengan bus metro mini 75 ataupun Kopaja 57. Dua bus kota ini akan melalui jalan Senopati yang hingga kawasan Tendean juga dijubeli dengan berbagai kendaraan roda empat ataupun dua. Alternatif terakhir, menyeberang melalui jembatan busway dan naik bus Kopaja 66 dari arah seberang Graha Energy (Graha Niaga). Namun bus ini hanya akan mengantar hingga perempatan Kuningan, sehingga untuk menuju Mampang harus jalan kaki sebentar hingga ke depan Trans TV/ Pasar Mampang dan menyambungnya dengan angkot 42, Kopaja 57, atau metro mini 75 yang datang dari arah Blok M.

Bagi orang-orang yang tidak punya kendaraan sendiri, sebenarnya ada alternatif lain yang mungkin digunakan, yaitu taxi. Namun dengan kemacetan yang parah, aku kira sedikit dari kita yang akan menggunakan alternatif ini.

Jika bus transjakarta yang dipilih, maka aku harus transit dulu di halte busway Dukuh Atas. Disinilah puncak pertemuan dari berbagai jalur busway, terutama jalur koridor satu yang menghubungkan stasiun Kota Jakarta dengan terminal Blok M. Antrian panjang manusia akan menjadi pemandangan yang biasa. Disini kau akan melihat banyak realita unik mengenai orang-orang dan perilakunya, terutama ketika sedang mengantri dan berusaha mengatasi stress akibat macet.

Dalam perjalanan pulang dengan menggunakan busway, kau akan melihat banyak fakta. Disini kau akan melihat bagaimana make-up tidak lagi menjadi utama. Rambut shaggy yang cool akan terlihat lemas dan lepek. Garis-garis tegas kemeja yang disetrika telah kehilangan lekukan-lekukan indahnya. Pada kondisi inilah kau akan melihat manusia-manusia yang apa adanya. Pun disinilah jika kau ingin melihat kecantikan alami seorang wanita.

Ya, tentu saja. Cantik bukan dalam arti visual saja, namun inner beauty pun akan teruji disana. Kau akan lihat bagaimana seseorang yang punya kepribadian baik akan terus tersenyum kepada orang lain meskipun ia lelah bekerja seharian. Wajahnya masih memancarkan cahaya optimisme dan selalu melihat sisi positif dari sesuatu. Dilain sisi, tidak akan sulit bagimu untuk menemukan orang-orang dengan wajah cemberut dan alis yang selalu bertaut. Melirik orang lain dengan sinis dan berusaha eksklusif dalam kemacetan dan antrian.

Begitu pula dengan alternatif pilihan transportasi lain. Setiap medan punya tantangan dan fakta yang menarik. Tidak hanya soal antrian, perilaku pengendara roda dua juga akan menjadi media rekreasi yang memikat. Sejuta wajah Jakarta dapat kau temui pada sebuah petang di hari Jum’at.

Jakarta, 26 Juli 2010

(sumber gambar: foto.detik.com)

Senin, 31 Mei 2010

KOMPLiKASi Kelas 1

“Saat menulis, kesampingkanlah otak kiri.” Demikian ujar seseorang saat kami bertemu dalam workshop creative writing beberapa waktu lalu. Deskripsi otak kiri yang cenderung kuantitatif, banyak pertimbangan, mengedepankan logika dan bersifat matematis akan mengganggu seorang penulis untuk menuangkan segala ide dan gagasan dalam kepalanya. “Jangan pernah membaca karya yang sedang anda tulis sebelum karya tersebut tuntas ditulis!” Sugesti ini diucapkannya untuk membuang efek otak kiri karena akan mengkontaminasi sang penulis untuk berpikir tentang grammatical rules, plot, sudut pandang, dan hal-hal teknis lain yang dapat mengalihkan perhatian dari ide pokok dan gagasan tulisan. Meskipun sifatnya subjektif, banyak penulis – terutama pemula – menyetujui pernyataan tersebut.

Dalam menghasilkan sebuah karya kreatif, otak kiri selalu dianggap sebagai ganjalan yang harus disingkirkan terlebih dahulu. Tidak hanya dalam menulis, saat melukis, menggambar, ataupun mendisain, sang maestro akan lebih bebas berekspresi ketika tidak dihadapkan pada berbagai aturan yang mengikat. Mungkin itu pula alasan mengapa para seniman, penulis, sastrawan, pelukis, dan profesi-profesi sejenisnya lebih mengedepankan ekspresi daripada logika. Tampilan awut-awutan, rambut panjang, dan gaya eksentrik adalah abstraksi dominan dari kalangan ini.

“Maka jangan sekali-kali kau gunakan otak kirimu berlebihan, karena itu akan membuat kreatifitasmu terbelenggu dan mati!”

Otak kiri = logika = banyak pertimbangan = ribet = hitung-hitungan = matematika = pelit! Otak kiri tercitra layaknya prabu Dasamuka (Rahwana) dalam kisah Ramayana, bagai Fir’aun dalam balada Nabi Musa a.s., dan seperti Ares dalam mitologi Yunani. Ia adalah antogonis kreatifitas yang mengganggu. Maka janganlah kau mendekatinya selama kau ingin menjadi manusia kreatif.



***

“Eits…siapa bilang otak kiri tidak penting? Jangan kira akan ada arsitektur berseni tinggi jika kau tidak pernah mengenal matematika, mengenal hitung-hitungan, mengenal ribet, mengenal banyak pertimbangan, mengenal logika, dan mengenal otak kiri.”

Kreatif adalah jika kau mampu hidup dan berekspresi dalam berbagai keterbatasan. Maka, bukanlah kreatif jika kau berkarya tanpa batasan karena tidak ada resistensi yang kau alami. Berpikir kreatif adalah berpikir produktif dalam berbagai keadaan. Jangan kau menganggap dirimu pelaut hebat jika kau tidak pernah berlayar di samudera ganas. Jangan pula berpikir kau seorang maestro dunia jika untuk berkarya kau harus pergi ke ujung dunia dan menyepi untuk mengharap inspirasi.



Matematika pun memiliki seni dan kreatifitasnya sendiri. Dengan menggabungkan berbagai rumus presisi dan akurasi penghitungan kalkulus integral dan diferensial, logika bobot dan luas penampang, terlahirlah Sydney Opera House, Centrepoint Tower, Burj Dubai, Mezquita de Cordoba, Taipei 101, Taj Mahal, dan berbagai seni arsitektur indah lainnya. Bagaimana mungkin masterpieces itu dapat dibangun jika otak kiri ditiadakan dari manusia?

Tidak hanya arsitektur, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga bergantung pada otak kiri. Tidak akan pernah ada kisah Apollo 11 yang berhasil membawa Neil Armstrong, Edwin Aldrin, dan Michael Collins mengunjungi bulan untuk pertama kalinya. Tidak akan ada pengamatan bintang jika Galileo Galilei tidak menciptakan teleskop refraktornya. Maka apalagi yang kau ragukan dari pentingnya otak kiri?



***

“Whus…tunggu dulu. Harus kau sadari, semua perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selalu diawali dari mimpi. Ingat!”

Hanyalah mimpi yang membuat Wright bersaudara (Orville dan Wilbur) menciptakan Wright Flyer untuk menerbangkan manusia. Begitu pula penjelajahan luar angkasa. Hanyalah mimpi “menginjak” bulan yang menyebabkan manusia menciptkan Apollo 11. Satu hal yang harus kau perhatikan, mimpi sama sekali tidak berhubungan dengan otak kiri!

***

“Jangan salah…mimpi hanyalah omong kosong jika tidak ada otak kiri!”

Kau kira mimpimu akan terwujud jika kau tidak pernah berpikir untuk mewujudkannya? Berpikir adalah aktivitas otak kiri, karena otak kiri tidak bermimpi. Jika kau ingin hidup dalam mimpi, silahkan lupakan bahwa kau punya otak satu lagi. Mimpi yang tidak realistis akan menyebabkan manusia terjerumus dalam utopia yang lama kelamaan membuatnya depresi. Mimpi hanyalah bunga tidurmu dimalam hari. Bahkan, siang bolong pun kau masih sempat melukis mimpi dalam duniamu yang imaji.

***

“Lalu…so what?”

Sumber gambar;
Apollo 11: tizona.wordpress.com
Burj Dubai: empimuslion.wordpress.com

Rabu, 07 April 2010

LEBAY Phenomenon...


Lebay, adalah sebuah kata yang sering kita dengar dimana-mana. Tidak hanya diucapkan, kata ini juga sering ditulis dalam berbagai komentar dan testimoni berbagai kalangan, utamanya remaja dan ABG. Lebay tidak kalah populer daripada perceraian selebriti, perselingkungan public figure, life style para socialite, omong-kosong wakil rakyat, kemiskinan, hingga pidato kepresidenan. Ia seolah muncul begitu saja dan berhasil mencuri hati masyarakat. Sekolah, tempat main, hiruk pikuk rumah tangga, sampai lirik lagu didominasi oleh lebay.

Seperti halnya kata-kata gaul “capek deh”, “mene ketehe”, “secara”, “GeJe”, “brondong”,"alay", “duren”, dan seterusnya yang sempat populer beberapa waktu, popularitas lebay menanjak tajam dan menduduki tangga kata gaul teratas. Seluruh sendi kehidupan dirasuki bayang-bayang lebay. Ia menguntit, menyelinap, mengamati, dan siap menikam siapapun yang ingin menjadi bagian dari kata gaul. Apalagi di era sekarang, strata gaul meningkat jauh lebih tinggi daripada status Pak Kades, Bu Lurah, Om Camat, Tante Bupati, hingga Mbak Istri Ketiga Pejabat. Gaul menghirup habis lemah gemulai Mbakyu penjual jamu gendong bersampir dan mentransformasinya menjadi tante cantik rupawan dengan segudang mata pencaharian.

Kembali kedalam pembicaraan: Lebay! Apa dan siapa sebenarnya lebay? Hingga tulisan ini dibuat, Wikipedia belum menyediakan referensi darimana kata lebay berasal, siapa orang tuanya, dimana kota kelahirannya, dan mengapa ia harus ada. Namun sejauh ini, telah ada beberapa usaha yang dilakukan beberapa orang untuk mengidentifikasi asal usul lebay agar tidak seperti kebanyakan bayi yang ditinggal oleh orang tuanya didepan pintu panti asuhan.

Lebay menurut beberapa sumber berasal dari sebuah kata di pulau Sumatra, yaitu belebai yang artinya berlebihan. Ia digunakan untuk mendeskripsikan seseorang dan sesuatu yang berlebihan daripada yang semestinya. Over, begitulah banyak orang menyebutnya. Masih dalam konteks yang sama, sebagian orang lain menganggap lebay adalah plesetan dari kata lebih yang diucapkan dengan aksen ke-inggris-inggris-an sehingga harus dibaca lebay. Dengan demikian dua pendapat tersebut masih berada dalam satu lintasan yang sama, yaitu lintasan yang bermuara pada lebih/ berlebihan/ kelebihan. Meskipun berlebihan memiliki pengertian positif (karena melebihi apa seharusnya), namun lebay memiliki konotasi yang sebaliknya. Negatif dan unacceptable!

Studi empiris yang dapat dipantau dalam keseharian mengindikasikan bahwa perilaku lebay adalah sesuatu yang terlalu didramatisir. Dibuat demikian agar memberikan aspek dramatis dan menarik perhatian. Sepintas mirip dengan scenario dan script dalam penggarapan sinetron Indonesia kebanyakan. It’s fully dramatic!

Sesuatu yang terlalu didramatisir menyebabkan masyarakat enggan untuk memberikan apresiasi positif, meskipun sebagian lebih suka hal tersebut karena dapat memancing tangis penuh sedu-sedan dan reaksi emosional yang membangkitkan adrenalin untuk menghukum sang antagonis/ opposan. Hal ini biasanya dialami oleh ibu-ibu rumah tangga beserta pembantu yang sering menemaninya menikmati sensasi drama sinetron dan sejenisnya. Setidaknya itulah alasan mengapa lebay layak dilabelkan pada seseorang yang terlalu mendramatisir sebuah permasalahan.

Akan tetapi, pada saat-saat sekarang, lebay mengalami sedikit penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak tahu bagaimana seharunya menggunakan kata lebay dengan bijak. Lebay telah diselewengkan dari ia yang seharusnya. Ini adalah pengkhiatan terhadap lebay. Suatu ketika sebuah stasiun menayangkan profil seorang nenek-nenek yang berusaha hidup ditengah hiruk pikuk metropolitan dengan menjual sayuran bekas, penontonya bilang: lebay! Saat seorang anak kecil menceritakan alasan ia ikut audisi sebuah ajang pencarian bakat adalah untuk membantu biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit, penonton bilang: lebay! Pun ketika seorang anak di daerah terpencil harus menempuh kiloan meter untuk mencapai sekolah, penonton masih bertahan pada kata yang sama: lebay!

Akupun setuju jika kisah heroik dan memprihatinkan diekploitasi sedemikian rupa demi kepentingan komersialisme, maka itu adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Seandai saja hal itulah yang aku temukan. Namun tidak. Lebay dalam kasus diatas hanya digunakan sebagai topeng dari kelemahan diri. Ketidakmampuan menerima keadaan bahwa mereka (yang berkoar-koar lebay) juga merasakan hal yang persis sama dengan tokoh “lebay” yang mereka teriaki. Sebuah tameng yang dibangun untuk menyembunyikan sisi kemanusian yang menjadi kodrat sebuah kehidupan. Melindungi kelemahan dan ketidakberdayaan yang pernah mereka alami dengan menumbalkan kata lebay!

(This article is not dedicated to be a part of lebay phenomenon)

(sumber gambar: http://www.google.co.id/imglanding?q=lebay&imgurl=http://kecowakmanja.blog.telkomspeedy.com/files/2009/01/lebay.jpg&imgrefurl=http://kecowakmanja.blog.telkomspeedy.com/page/2/&usg=__mZ3JzuIOX_zqe6nTuFm22xij13M=&h=273&w=585&sz=35&hl=id&itbs=1&tbnid=r6xf9j4xOQz2ZM:&tbnh=63&tbnw=135&prev=/images%3Fq%3Dlebay%26hl%3Did%26sa%3DG%26tbs%3Disch:1&sa=G&tbs=isch:1&start=0#tbnid=qtII9AYuw7NmuM&start=0)

LOVE 'n What I Think...


“aku hanya ingin bercinta,
dengan kamu sendiri,
ga perlu si ini, si itu,
mesti gini, harus gitu.”
(Jamrud)

Menikmati alunan indah syair Jamrud dan hentakan nada-nadanya mengantarkanku sejenak pada sebuah dunia yang hanya ada dalam imajinasiku. Dunia dimana cinta menjadi pesona yang menggiurkan. Sebuah candu yang menawan manusia dalam sangkar ketidakbedayaan. Apalah arti kehidupan singkat ini tanpa hadirnya cinta. Sejak Nabi Adam tercipta hingga entah kapan kuas kehidupan berhenti menggores kanvas usia, cinta adalah hal terindah yang mungkin pernah dimiliki manusia.

Cinta memiliki banyak turunan terminologi yang tak lagi asing didengar. Ia kontroversial. Mencerahkan bagi sebagian namun menghancurkan bagi sebagian yang lain. Paling tidak itulah jawaban dari orang-orang yang kutanyai tentang cinta. Indahnya dunia saat cinta bersambut rasa dan betapa busuknya ia saat menjadi alasan bagi seseorang untuk mengakhiri perjalanan hidupnya. Tapi tidak begitu bagiku. Cinta itu menggairahkan, hanya itu. Tak ada kontroversi, tak ada intimidasi, dan tak ada depresi. Ia selalu indah, bagai bunga dimusim semi dan butiran salju dimusim dingin. Sebuah keindahan yang absurd dan subjektif!

Dalam sudut ketertarikan antara pria dan wanita, universalitas cinta kadang terabaikan. Tidak salah jika itu yang ingin Jamrud katakan. Aku cinta kamu, kamu cinta aku. Aku milik kamu, dan kamu hanya milik aku. Possesif! Dunia berkata bahwa ia sering dilupakan oleh pasangan yang dimabuk cinta. Seakan tak ada makhluk lain yang perlu dilirik selain kekasih pujaan jiwa. Hanya dia yang terbayang dalam dua puluh empat jam perputaran waktu. Seandainya mampu, kuyakin para pujangga akan membuat pusara indah bagi masa. Namun benarkah kamu hanya bercinta dengan dia sendiri?

Cinta adalah ekspresi kejiwaan yang implementasinya membutuhkan objek, bahkan cinta pada diri sendiri. Mencintai seseorang bisa saja diartikan sempit sebagai bentuk kecintaan pada wajahnya, perilakunya, kebaikannya, atau tubuhnya. Lebih spesifik cinta pada hidungnya yang mancung, lesung pipitnya yang menggoda, gerai hitam rambut panjangnya, wangi parfumnya, indah warna matanya, sintal tubuhnya, kasar tutur katanya, dan rentetan daftar yang masih panjang mengantri.

Mencintai seseorang secara tidak langsung menyatakan bahwa kita juga mencintai segala kelebihan dan kekurangan pasangan, meskipun jika seorang pencinta hanya mau mencintai kelebihan dan tidak mau mencintai kekurangannya masih bisa dianggap wajar. Ketika menikahi seseorang, maka sebenarnya kita tidak hanya menikahi dirinya, namun juga menikahi teman-temannya, menikahi keluarganya, paman-bibinya, kakak-adiknya, ayah-ibunya, menikahi kekurangannya, dan menikahi mantan-mantan kekasihnya. Maka siap-siaplah ber”poligami….”

(sumber gambar:http://www.google.co.id/imglanding?q=love&imgurl=http://ohdediku.files.wordpress.com/2009/07/jump-for-love.jpg&imgrefurl=http://ohdediku.wordpress.com/2009/07/09/punk-rock-jalanan-ceritamu-ceritaku-cerita-kita-bersama/jump-for-love/&h=429&w=600&sz=26&tbnid=uiPED3cqDwMHBM:&tbnh=97&tbnw=135&prev=/images%3Fq%3Dlove&hl=id&usg=__tO8tte2KZKDUHDThTH9IetM-hx0=&ei=uau8S6iGO4i7rAfT7Ni5Bw&sa=X&oi=image_result&resnum=1&ct=image&ved=0CAYQ9QEwAA&start=0#tbnid=uiPED3cqDwMHBM&start=0)

PROVOKASI WANITA: WARNA KEMBEN SENADA KULIT

Tidak dapat dipungkiri, wanita memiliki daya tarik luar biasa bagi lawan jenisnya. Banyak pria tangguh dalam sejarah hanya dapat ditaklukkan oleh seorang wanita. Bahkan untuk memperebutkan wanita, nyawa taruhannya. Daya tarik inilah yang membuat wanita selalu menjadi pusat perhatian dimanapun mereka berada. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, pesona wanita menjerat siapapun yang bernama pria.

Kelebihan ini membuat wanita sadar bahwa dirinya istimewa. Cukup dengan sedikit polesan saja, tak akan berhenti setiap mata memandang dan memujanya. Bagi beberapa perempuan, nampaknya mereka tahu betul bagaimana memperlakukan kelebihannya itu, paling tidak mereka adalah wanita-wanita yang aku temui di pusat perbelanjaan Blok M suatu sore di hari minggu.

Kebutuhan untuk membeli buku mata kuliah membuatku pergi ke bursa buku murah yang terletak di kawasan Blok M, Jakarta. Hari libur nampaknya menjadi hari yang tepat bagi orang-orang untuk melepas lelah dengan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan. Hal ini mungkin juga dipengaruhi tingkat kemacetan luar biasa menuju Puncak atau daerah sekitar Bogor dan Bandung yang biasa terjadi di akhir pekan. Selepas membeli buku-buku yang aku butuhkan, akupun menikmati sejenak suasana yang ada di sekitar.
Berpapasan dengan berbagai jenis orang sangat menarik bagiku. Beberapa diantaranya menunjukkan kemesraan pria-wanita seolah mengatakan bahwa pasangannya adalah orang paling sempurna yang perlu dipamerkan pada khalayak. Rombongan keluarga biasa terdiri dari seorang ayah, ibu, dan dua hingga tiga anak kecil. Sang ayah sering direpotkan oleh tingkah anak-anaknya yang minta digendong sedang ibu sibuk memarahi anak yang banyak minta dibelikan barang. Gerombolan remaja putri sering terlihat diiringi senda tawa. Dari pembicaraan yang terdengar, beberapa bagian mengenai cowok. Hal – yang kalau boleh dibilang paling – menarik yang aku temui adalah wanita-wanita muda yang memakai kemben dengan warna yang senada dengan kulitnya. Ini adalah bagian yang paling banyak menyedot perhatian laki-laki yang sedang berlalu lalang ataupun yang sedang duduk-duduk santai bersama pasangannya.

Dilihat sepintas, wanita yang terakhir disebut diatas akan terlihat bertelanjang dada. Hal ini sungguh meresahkan dan menyesakkan. Jika mereka melintas di hadapan orang-orang, tak pelak semua mata memandang. Kadang aku tertawa geli melihat respon yang begitu serempak itu. Hal yang membuatku bingung, betapa wanita-wanita itu tidak sedikitpun merasa risih. Inilah provokasi itu. Provokasi yang oleh banyak aktivis yang mengatasnamakan pembela wanita sebagai sakit gila para pria. Apakah para pria ini memang sakit gila ataukah respon yang diperlihatkannya adalah respon normal bagi orang-orang yang terusik kelelakiannya?

Betapa malangnya pria jika wanita telah begitu pandai mengeksploitasi diri. Kemben yang senada dengan warna kulit biasanya tidak dipakai begitu saja, tapi dipadu dengan rompi yang terbuat dari kain wol atau aksesoris lainnya. Dari arah kumpulan anak muda laki-laki akan terdengar sedikit cekikikan saat makhluk dengan karakteristik yang disebutkan sedang melintasi mereka. Ini cukup mengganggu, karena wanita yang berpakaian seperti ini tidak hanya satu.

Betapa aku ingin tertawa lepas saat melihat beberapa diantara wanita itu merasa jengkel dengan perlakuan dan pandangan yang mereka terima. Lucu melihat reaksi mereka yang biasanya manyun dan memalingkan muka. Memangnya respon seperti apa yang mereka harapkan?

Selasa, 02 Maret 2010

NARSISME DAN FACEBOOK

Mengakarnya budaya ber-FB-an di masyarakat sering dikaitkan dengan istilah narsisme. Ketika seseorang sering mengabadikan gambar dirinya dengan kamera, itulah narsis. Bila seseorang memuji diri dengan sangat, itulah narsis. Pun saat seseorang menghendaki orang lain untuk mengagumi dirinya melebihi siapapun, itulah narsis. Benarkah pengertian narsis adalah itu?

Sebagai situs jejaring sosial yang sedang diminati oleh berbagai kalangan, facebook tidak sekedar berperan sebagai fenomena, namun juga merupakan objek sosial itu sendiri. Meskipun pada awalnya Mark Zuckerberg hanya bermaksud untuk menjadikan facebook sebagai media komunikasi mahasiswa Harvard, pada realitanya facebook malah menjadi idola di berbagai belahan dunia.

Pertanyaannya kemudian apakah kehadiran facebook yang telah merubah perilaku masyarakat (terutama Indonesia) untuk lebih dekat dengan narsisme? Ataukah ia menjadi pelampiasan narsisme setiap orang yang memang telah ada dalam diri masing-masing sehingga menjadi lebih akomodatif? Kompleksitas hubungan facebook dan narsisme tidak sebatas mengikat pengguna dengan facebook, namun masih terdapat satu unsur lagi yang menjadi variabel pelengkap interaksi tersebut, yaitu adanya pengguna lain (teman FB). Saat seseorang mendekati wilayah narsisme, boleh jadi itu adalah pengaruh yang ditularkan oleh teman FB.

Narsisme adalah perilaku cinta berlebihan terhadap diri sendiri. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh mitologi Yunani, yaitu Narcissus dan digunakan pertama kali oleh Sigmund Freud dalam studi psikologi. Paling tidak demikianlah pengertian narsisme yang dijelaskan oleh “bang Wikipedia”. Dalam tulisan lain, Isywara Mahendratto (tamanbintang@yahoogroups.com) mengatakan bahwa diantara tanda-tanda narsisme adalah:

  1. Merasa dirinya sangat penting dan ingin dikenal oleh orang lain
  2. Merasa bahwa dirinya unik dan istimewa
  3. Suka dipuji dan apabila perlu memuji diri sendiri
  4. Kecanduan dipotret atau di-shooting
  5. Suka berlama-lama di depan cermin
  6. Cenderung memamerkan apa yang dimilikinya, termasuk bagian tubuh pribadi

Dalam teori ERG Clayton Alderfer membagi kebutuhan manusia menjadi tiga tingkat, yaitu kebutuhan existence, kebutuhan relatedness, kebutuhan growth. Teori ini jelas tidak menafikan adanya hasrat seseorang untuk menunjukkan eksistensinya. Setiap orang memiliki kebutuhan untuk dihargai, dihormati, bahkan dipuji. Hal ini juga dikutkan oleh Abraham H. Maslow dalam teori hierarki piramida kebutuhan-nya yang terkenal. Tiga tingkat teratas dalam teorinya disebutkan secara berurut: kebutuhan sosial, kebutuhan status, dan aktualisasi diri.

Jika dikorelasikan dengan banyaknya ragam dan gaya foto yang di-upload seorang pengguna facebook, Maslow dan Clayton secara tidak langsung mengatakan bahwa itu adalah salah satu bentuk keinginan untuk memenuhi kebutuhan sosial, pengharapan status, dan bentuk aktualisasi diri. Di lain sisi, hal tersebut juga memiliki separuh identifikasi mengenai narcissist (narsis).

Sebuah pertanyaan yang mungkin bersarang di benak anda adalah apakah salah untuk menjadi narsis? Bukahkah setiap orang punya hak untuk menjadi narsis atau tidak narsis? Mengapa hal tersebut tiba-tiba penting untuk dibicarakan? Hak saya dong untuk menjadi narsis atau tidak!

Persepsi mengenai narsis tentu saja sangat beragam, apalagi dipandang dari sudut pemahaman individu-individu yang berbeda-beda. Tindakan dan sikap apapun tidak pernah menjadi masalah selama hal tersebut tidak merusak batas kenyamanan dan privasi orang lain. Apakah perilaku narsis itu salah? Selama hal tersebut tidak merugikan orang lain, tidak menyebabkan anda mengeksploitasi diri, tidak menjadikan anda paranoid dengan kelemahan dan kekurangan yang anda miliki, anda tahu jawabannya.#

Senin, 18 Januari 2010

Arti Sahabat

Banyak pepatah mengatakan bahwa teman sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang. Pada awalnya, aku tidak terlalu percaya dengan hal tersebut karena sejauh ini aku tidak merasakan hal tersebut. Pertemanan dan persahabatan yang aku jalani mengalir bagaikan air sungai yang tenang. Tidak ada yang mendominasi ataupun didominasi. Semuanya berjalan lancar tanpa ada masalah.

Namun seiring berjalannya waktu, tingkat kematangan dan kedewasaan antara satu orang dengan lainnya berbeda. Perubahan tingkat pendidikan, pengalaman, akses informasi, dan faktor-faktor demografis lainnya menimbulkan pandangan dan sikap yang berbeda dalam memandang sebuah masalah.

Ternyata, pengaruh seorang teman dan sahabat pada diri kita tidak sekedar pola hubungan yang mendominasi-didominasi, namun lebih dari itu, mereka yang berada disekitar menjadi sumber referensi bagi kita dalam bertindak ataupun menyikapi sebuah masalah. Inilah alasan mengapa seorang teman dan sahabat menjadi penting bagi kita.

Disadari ataupun tidak, pembawaan dan sikap kita cukup besar terpangaruh dari referensi yang kita tangkap dari teman dan sahabat. Apalagi jika kita terjebak pada situasi yang kritis dan membutuhkan pemecahan yang sebelumnya belum pernah kita alami. Dalam keadaan seperti ini, tingkah sahabat dan orang-orang terdekat kita secara otomatis akan menjadi pinjakan dan contoh.

Dengan demikian, karakter dan sikap teman/ sahabat yang kita pilih akan menjadi salah satu faktor pendukung proses character building dalam diri. Ketika kita berteman dan berkumpul dengan orang-orang yang temperamental dalam menghadapi masalah, maka sangat mungkin kita juga akan melakukan pendekatan yang sama dalam menyelesaikan sebuah masalah, bahkan ketika kita sendirian.

Begitu juga ketika kita berteman dengan orang-orang yang senang berbuat baik dan berpikiran positif terhadap segala sesuatu. Pertemanan dengan orang-orang yang seperti itu akan membuat kita juga akan lebih sabar dan positif dalam menghadapi permasalahan yang ada. Oleh karena itu, meskipun jangan sampai pilih-pilih dalam berteman dan bersahabat, carilah teman yang memberikan dampak yang positif dan baik bagi pembangunan mental dan kepribadian kita.

Popular