Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Rabu, 07 April 2010

LEBAY Phenomenon...


Lebay, adalah sebuah kata yang sering kita dengar dimana-mana. Tidak hanya diucapkan, kata ini juga sering ditulis dalam berbagai komentar dan testimoni berbagai kalangan, utamanya remaja dan ABG. Lebay tidak kalah populer daripada perceraian selebriti, perselingkungan public figure, life style para socialite, omong-kosong wakil rakyat, kemiskinan, hingga pidato kepresidenan. Ia seolah muncul begitu saja dan berhasil mencuri hati masyarakat. Sekolah, tempat main, hiruk pikuk rumah tangga, sampai lirik lagu didominasi oleh lebay.

Seperti halnya kata-kata gaul “capek deh”, “mene ketehe”, “secara”, “GeJe”, “brondong”,"alay", “duren”, dan seterusnya yang sempat populer beberapa waktu, popularitas lebay menanjak tajam dan menduduki tangga kata gaul teratas. Seluruh sendi kehidupan dirasuki bayang-bayang lebay. Ia menguntit, menyelinap, mengamati, dan siap menikam siapapun yang ingin menjadi bagian dari kata gaul. Apalagi di era sekarang, strata gaul meningkat jauh lebih tinggi daripada status Pak Kades, Bu Lurah, Om Camat, Tante Bupati, hingga Mbak Istri Ketiga Pejabat. Gaul menghirup habis lemah gemulai Mbakyu penjual jamu gendong bersampir dan mentransformasinya menjadi tante cantik rupawan dengan segudang mata pencaharian.

Kembali kedalam pembicaraan: Lebay! Apa dan siapa sebenarnya lebay? Hingga tulisan ini dibuat, Wikipedia belum menyediakan referensi darimana kata lebay berasal, siapa orang tuanya, dimana kota kelahirannya, dan mengapa ia harus ada. Namun sejauh ini, telah ada beberapa usaha yang dilakukan beberapa orang untuk mengidentifikasi asal usul lebay agar tidak seperti kebanyakan bayi yang ditinggal oleh orang tuanya didepan pintu panti asuhan.

Lebay menurut beberapa sumber berasal dari sebuah kata di pulau Sumatra, yaitu belebai yang artinya berlebihan. Ia digunakan untuk mendeskripsikan seseorang dan sesuatu yang berlebihan daripada yang semestinya. Over, begitulah banyak orang menyebutnya. Masih dalam konteks yang sama, sebagian orang lain menganggap lebay adalah plesetan dari kata lebih yang diucapkan dengan aksen ke-inggris-inggris-an sehingga harus dibaca lebay. Dengan demikian dua pendapat tersebut masih berada dalam satu lintasan yang sama, yaitu lintasan yang bermuara pada lebih/ berlebihan/ kelebihan. Meskipun berlebihan memiliki pengertian positif (karena melebihi apa seharusnya), namun lebay memiliki konotasi yang sebaliknya. Negatif dan unacceptable!

Studi empiris yang dapat dipantau dalam keseharian mengindikasikan bahwa perilaku lebay adalah sesuatu yang terlalu didramatisir. Dibuat demikian agar memberikan aspek dramatis dan menarik perhatian. Sepintas mirip dengan scenario dan script dalam penggarapan sinetron Indonesia kebanyakan. It’s fully dramatic!

Sesuatu yang terlalu didramatisir menyebabkan masyarakat enggan untuk memberikan apresiasi positif, meskipun sebagian lebih suka hal tersebut karena dapat memancing tangis penuh sedu-sedan dan reaksi emosional yang membangkitkan adrenalin untuk menghukum sang antagonis/ opposan. Hal ini biasanya dialami oleh ibu-ibu rumah tangga beserta pembantu yang sering menemaninya menikmati sensasi drama sinetron dan sejenisnya. Setidaknya itulah alasan mengapa lebay layak dilabelkan pada seseorang yang terlalu mendramatisir sebuah permasalahan.

Akan tetapi, pada saat-saat sekarang, lebay mengalami sedikit penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak tahu bagaimana seharunya menggunakan kata lebay dengan bijak. Lebay telah diselewengkan dari ia yang seharusnya. Ini adalah pengkhiatan terhadap lebay. Suatu ketika sebuah stasiun menayangkan profil seorang nenek-nenek yang berusaha hidup ditengah hiruk pikuk metropolitan dengan menjual sayuran bekas, penontonya bilang: lebay! Saat seorang anak kecil menceritakan alasan ia ikut audisi sebuah ajang pencarian bakat adalah untuk membantu biaya pengobatan ibunya yang sedang sakit, penonton bilang: lebay! Pun ketika seorang anak di daerah terpencil harus menempuh kiloan meter untuk mencapai sekolah, penonton masih bertahan pada kata yang sama: lebay!

Akupun setuju jika kisah heroik dan memprihatinkan diekploitasi sedemikian rupa demi kepentingan komersialisme, maka itu adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Seandai saja hal itulah yang aku temukan. Namun tidak. Lebay dalam kasus diatas hanya digunakan sebagai topeng dari kelemahan diri. Ketidakmampuan menerima keadaan bahwa mereka (yang berkoar-koar lebay) juga merasakan hal yang persis sama dengan tokoh “lebay” yang mereka teriaki. Sebuah tameng yang dibangun untuk menyembunyikan sisi kemanusian yang menjadi kodrat sebuah kehidupan. Melindungi kelemahan dan ketidakberdayaan yang pernah mereka alami dengan menumbalkan kata lebay!

(This article is not dedicated to be a part of lebay phenomenon)

(sumber gambar: http://www.google.co.id/imglanding?q=lebay&imgurl=http://kecowakmanja.blog.telkomspeedy.com/files/2009/01/lebay.jpg&imgrefurl=http://kecowakmanja.blog.telkomspeedy.com/page/2/&usg=__mZ3JzuIOX_zqe6nTuFm22xij13M=&h=273&w=585&sz=35&hl=id&itbs=1&tbnid=r6xf9j4xOQz2ZM:&tbnh=63&tbnw=135&prev=/images%3Fq%3Dlebay%26hl%3Did%26sa%3DG%26tbs%3Disch:1&sa=G&tbs=isch:1&start=0#tbnid=qtII9AYuw7NmuM&start=0)

2 komentar:

  1. Waaaahhh bagus sekali darus,,,,
    follow akyy ya,,,
    di kakakung.blogspot.com

    Maaf promosi
    hehehe

    BalasHapus
  2. Udah lama, kali Tur..... santai sob....!!!

    BalasHapus

Popular