Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Selasa, 06 November 2012

Stasiun Pasar Senen

Stasiun Pasar Senen, adalah salah satu stasiun tua yang menjadi saksi dan pintu urbanisasi kota Jakarta. Di stasiun ini banyak kisah menarik yang tersaji. Bukan dari tutur kepala stasiun atau para masinis, namun dari wajah-wajah lelah dan deraian keringat para penumpang. Pun, kita dapat temui paras-paras sumringah dengan ribuan asa yang terselip dalam setiap senyuman. Disinilah babak kehidupan menemukan jalan...

Statuta
Pintu Masuk. Disinilah biasanya calo menjaring pelanggan

Senin, 22 Oktober 2012

KEBAHAGIAAN ITU DEKAT!

"Don't judge a book by its cover" sepertinya berlaku dalam hal ini. Kadang kita salah sangka, salah tafsir, salah paham, salah alamat, atau salah tangkap!


Keep Spirit Pak!
Seperti biasa, hari minggu kemarin aku berangkat dari tempat kost menuju Stasiun Gambir, tempat aku melakukan aktivitas volunteer. Sebelum jarum jam menunjuk angka tiga sore, aku mampir sejenak ke area parkir Stasiun Gambir yang terletak di belakangnya. Selain berfungsi sebagai tempat parkir, area belakang tersebut juga merupakan shelter bagi moda transportasi umum lain seperti taksi, bajaj, dan bus Damri yang khusus melayani rute bandara Soekarno-Hatta. Di tempat ini pula terdapat sebuah masjid yang menjadi pusat aktivitas ibadah umat muslim di sekitar.
Aku menanggalkan sandal untuk mencuci muka yang kusam setelah hampir empat puluh menit perjalanan diatas bus Kopaja P20. Kadang aku gregetan dengan aksi para supir angkutan ini. Ketika jalanan lengang, mereka biasanya berleha-leha dan memacu bus sekenanya saja. Tidak peduli dengan para penumpang yang gerah tersengat panas matahari Jakarta. Sekejap kemudian, mereka akan mengebut kesetanan saat melihat ada bus Kopaja P20 lain di belakang. Jalanan macet tidak lagi diperhatikan. Salip kanan, salip kiri, supir-supir itu tak lagi peduli dengan para penumpang. Di jejeran kursi belakang, tidak jarang pantat para penumpang terangkat dari kursi saat bus terganjal atau mengerem dengan tiba-tiba. Sudahlah, sepertinya tak ada lagi yang dapat dilakukan dengan. Lebih baik (dan sehat secara mental) untuk menganggap perjalanan ini sebagai rekreasi di Dufan, dengan tarif lebih murah tentunya.

Sabtu, 29 September 2012

Mintalah Sewajarnya


Terkadang kita merasa hidup berlaku tidak adil. Disaat kita merasa telah berusaha sekuat tenaga, hasil yang kita dapat tak sesuai harapan. Kadang kita mengeluh betapa hidup ini begitu berat tuk dijalani. Mungkin ada yang berpikir akan lebih baik jika hidupnya diakhiri. Benarkah seberat itu dunia ini tuk dijalani? Sekejam itukah nasib mempermainkan hidup seseorang?

Aku bertemu nenek ini secara tak sengaja. Hari Minggu itu ia lewat begitu saja di depanku yang sedang duduk santai bercengkerama dengan adik binaan. Tidak seperti orang pada umumnya, sang nenek berjalan sangat lambat seakan dunia disekitarnya terserap dalam sebuah slow-motion  film The Matrix. Tidak pernah sebelumnya aku menemukan seseorang berjalan selambat nenek itu.  
Maafin aku ya nek....

Seakan ada beban yang begitu berat harus dipikulnya tiap kali melangkah, satu per satu kakinya bergerak perlahan. Tak ia biarkan kaki di belakang bergerak sebelum ia yakin kaki yang di depan telah menapak mantap menahan tubuh ringkihnya. Dua kemungkinan, pikirku. Jika bukan beban yang ia gendong terlalu berat, maka tubuh rentanya yang begitu lemah untuk diajak bepergian. 

Sambil terus memperhatikan sang nenek yang keluar dari arah pemukiman warga, aku masih terus berbincang dengan adik di sampingku. Nampaknya ia tahu aku tertarik dengan kemunculan si nenek. Adik itu justru acuh tak acuh seakan hal itu menjadi pandangan yang ia lihat sehari-hari. Memang saat itu aku berada di lingkungan Jakarta yang tidak segemerlap tayangan sinetron atau sampul majalah turisme Kementerian Pariwisata. Ketika itu aku berada di lingkungan marginal ibukota. 

Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Mungkinkah ia tinggal sebatang kara? Apakah suami yang mungkin berusia lebih tua darinya telah meninggal dunia dan meninggalkannya seorang diri? Apakah ia tidak punya sanak saudara? Anak misalnya? Pun jika ada, apakah anak-anaknya saling lempar tanggung jawab untuk mengurusnya? Mungkinkah karena tidak ingin merepotkan nenek memilih hidup sendiri? Apakah bungkusan di punggungnya adalah jamu racikan atau gorengan pisang yang menjadi menumpukan hidup? Ah, aku tidak tahu.

Hampir lima menit berlalu, belum satu meter pun nenek itu lalui. Kau mungkin bertanya-tanya apa yang kemudian kulakukan. Apakah aku hanya memperhatikan saja tanpa berusaha melakukan sesuatu? Bukankah lebih baik membantu daripada sekedar melihatnya dari ujung mata? Apalagi jika sempat-sempatnya aku mengambil foto dan malah tidak memapahnya. Jika kau pembaca yang berpikiran positif, mungkin kau menyangka tentu saja aku tergerak membantu. Bila kau pembaca yang kritis, kau mungkin tidak percaya begitu saja dan masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya kulakukan? 

Popular