Menuju Pangandaran, 29
Maret 2013
Saat menulis ini aku
sedang berada di atas bus Gapuraning Rahayu menuju Pangandaran. Weekend yang
diawali dengan tanggal merah Jum'at Agung menjadi waktu yang tepat untukku
berjalan-jalan. Beberapa minggu ini pikiranku memang suntuk tak karuan. Selain
soal kerjaan yang selalu "ada-ada aja", pikiranku juga kalut
menyelesaikan esai beasiswa yang sedang kukejar.
![]() |
Terminal Kampung Rambutan |
Sambil aku menulis,
suara sendu penyanyi cantik Nike Ardila mengalun di dalam bus. "Hanya iman
di dada, yang buatku mampu, selalu tabah menghadapi...." Ini adalah lagu
ketiga. Belum menginjakkan kaki di tanah Pajajaran, aku sudah dikepung perasaan
nostalgia melalui nada-nada awewek asli Bandung ini. Sangat Jawa Barat! Meski telah
lama pergi, suara Nike telah melemparkanku kembali pada masa kecil saat aku
duduk di teras rumah sambil mendengarkan lagu-lagunya melalui radio tape
pamanku.
![]() |
Menanti Bus Gapuraning Rahayu |
Sebelumnya aku belum
pernah menyambangi Pangandaran. Saat aku tanya pada kenek bus jam berapa
kira-kira sampai, Ia menjawab, "wah, tidak tau ya mas. Soalnya lagi libur,
mungkin bakal macet." Aku pun tidak masalah, toh ini liburan. Jam berapa
pun sampai Pangandaran, aku nikmati saja.
Sebelum pergi tadi sore,
aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat Pangandaran melalui Internet. Sangat
indah ternyata. Pangandaran juga disebut-sebut sebagai Bali-nya Jawa Barat.
Satu destinasi yang populer adalah Green Canyon. Meski namanya mirip dengan
Grand Canyon di Arizona yang pernah aku singgahi dulu, yang ini katanya
benar-benar "green" dengan sungai yang mengalir di bawah tebing penuh
pepohonan. Aku pun penasaran. Semoga Ai, temanku yang akan menemani akhir
pekanku di Pangandaran, dapat mengantarku besok ke sana.
Mengejar Sunrise Pantai
Pangandaran
Jam 04.05 WIB, aku
sampai di pool Gapuraning Rahayu. Kepalaku pening sementara perutku seakan
diaduk-aduk. Baru saja aku SMS Ai mengabarkan bahwa aku telah sampai, namun aku
yakin Ia takkan datang sepagi ini. Tiba-tiba saja teleponku berdering, ada SMS
masuk. Si Ai ternyata. Entah temanku yang gondrong ini tidak tidur atau memang
telah bangun sepagi ini untuk tahajud. Ah, yang penting jemputanku akan segera
tiba. Urat kepalaku sudah kusut terlalu lama terbentur sandaran kursi dan
jendela bus.
Selepas shalat Shubuh di
pool, Ai datang sambil celingukan mencari diriku. Aku melambai dan Ia datang
menghampiri. Di tangannya Ia memegang bungkusan plastik yang berisi gorengan.
Nikmat, pagi yang dingin ditemani setumpuk gorengan yang masih hangat. Aku pun
mengeluarkan bungkusan donat yang kubeli di atas bus.
Sedikit mengisi perut,
kami meluncur tuk mengejar sunrise. Ai mengajakku mengelilingi pantai
Pangandaran. Benar saja, jejeran toko dan penginapan mengisi setiap ruas jalan
dengan riuh pengunjung yang berlalu lalang. Ini masih jam 5.30 pagi, namun
orang-orang mulai keluar dari penginapan dan menuju pantai.
Kami berputar
mengelilingi pantai timur dan barat serta gang-gang sempit yang membujur,
melintang, dan melingkar. Ai menunjukkan kelihaiannya dalam mengenali setiap
jalan pintas dan tempat-tempat menarik sekitar pantai Pangandaran. Cukup lama
berputar-putar, kami berhenti di sebuah tempat rekreasi banana boat dengan
jembatan yang menjorok panjang ke laut.
![]() |
Suasana Sunrise Pangandaran |
Di sebuah teras ubin
yang menghadap laut, kami duduk menanti sang mentari muncul dari balik
cakrawala. Beberapa orang juga duduk di samping kami sedang yang lain sibuk
berlalu lalang. Bekas hujan semalam masih menyisakan awan yang menggelantung di
langit Pangandaran. "Pun bila matahari muncul hari ini, tentu Ia akan
langsung tinggi karena saat terbit sedang tertutup awan," ujarku pada Ai.
![]() |
Menikmati Sunrise |
Benar saja, cukup lama
kami menanti hingga kemudian sinar hangat mencuat dari balik awan diikuti wajah
cerah sang mentari. Aku pun mengambil kamera dan mulai mengabadikannya. Sambil
menikmati sunrise, secangkir kopi dan susu hangat menemani wajah kusut kami
pagi ini. Lengkap menikmati langit yang jingga, motor kembali menyala. Kini
kami menuju sisi pantai yang lain.
Jelajah Pantai Pasir
Putih Yang Mempesona
Setibanya di tempat
tujuan, Ai berhenti di sebuah warung yang terletak tidak jauh dari sisi pantai.
Kali ini susu putih hangat Ia pesan. Ia mengatakan padaku semalam Ia baru tidur
jam dua. Mungkinkah karena itu perutnya seakan tak pernah kembung? Aku tidak
pesan apa-apa. Perutku tak bisa dikompromi sejak semalam.
Pantai Pangandaran ramai
bukan main. Perahu-perahu tak lagi tertambat. Para nelayan kini sibuk mengantar
pengunjung menuju Pantai Pasir Putih yang terletak di balik tebing. "Kita
bisa jalan kaki ke Pantai itu dan bayar Rp 8.000 di pintu masuk. Bila naik
kapal, ongkosnya Rp 10.000. Tapi gue ada ide lain," ujar Ai.
Bila Ai mengatakan ada
ide lain, itu artinya ada ide iseng yang sedang ia siapkan. Ia mendekati
seorang lelaki yang sedang berdiri di pagar kawat duri yang memisahkan kedua
pantai. Dengan melintasi pagar ini, kami dapat langsung sampai di Pantai Pasir
Putih tanpa harus berjalan kaki memutar ataupun naik kapal.
Dengan mengandalkan
modalnya sebagai orang lokal, negosiasi Ai berhasil. Kami meloncati pagar dan
mulai menyusuri Pantai dengan pepohonan yang rimbun ditemani kawanan kera,
rusa, dan hamparan pasir putih yang luas. Sayangnya, kali ini tumpukan manusia
memadati pantai ini sambil asyik bermain banana boat, snorkeling, atau sekedar
bermain-main. Riuh anak-anak juga tak ketinggalan saat mereka sibuk membangun
istana pasir.
![]() |
Pantai Pasir Putih Pangandaran |
Keinginanku untuk
snorkeling akhirnya pupus setelah melihat air laut yang mulai pasang. Beberapa
orang yang sedang ber-snorkeling tampak terombang ambing oleh ombak. Menurut
Ai, taman laut yang berada di tengah menjadi tak terlihat jelas saat gelombang
tinggi seperti sekarang. Akhirnya, kami hanya berkeliling dan mengambil gambar
pemandangan sekitar.
Menyambangi Saung
Komunitas Sabalat
Lelah mulai menjalari
kaki kami sementara matahari mulai meninggi. Ai mengajakku ke rumahnya. Diluar
dugaanku, rumah Ai terletak cukup jauh dari area pantai Pangandaran meski
menurutnya dekat. Sebelum mengistirahatkan diri di rumahnya, Ai mengajakku
mampir ke saung yang menjadi markas komunitas Sabalat yang Ia dirikan.
Yup, selepas kuliah Ai
memilih untuk pulang ke kampung halaman. Ia mendedikasikan diri untuk membangun
daerah kelahirannya dengan merangkul anak-anak muda untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan masyarakat sekitar. Saung yang terletak di tanah seluas 10 meter
persegi ini layaknya sauna ditengah padang pasir. Di tengah hamparan sawah dan
kebun, saung Sabalat menjadi pusat aktivitas anak muda Pangandaran dalam
berkarya.
Saung ini dibangun
dengan menggunakan bahan-bahan alami. Tak ada bata yang digunakan seperti
halnya pada bangunan moderen. Atap dari daun kelapa, pantai dari papan, serta
aksesori menarik dari bahan bambu menjadi komposisi yang pas guna
merepresentasikan spirit kebudayaan dan warisan lokal. Dananya pun dikumpulkan
dengan swadaya meski sebagian besar dibantu dana pribadi orang tua Ai. Memang,
buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Keluarga ini memiliki perhatian
yang tinggi terhadap pemberdayaan petani dan masyarakat. "Yah, ada yang
nyumbang kayu, papan, dan bahan-bahan lain yang diperlukan sehingga saung ini
dapat berdiri," ujar Ibu Yuyun, wanita yang telah melahirkan Ai saat
menemuiku di saung.
Setelah
berbincang-bincang, Aku dan Ai pergi menuju rumahnya untuk makan siang dan
mandi. Ah, mandi! Aku baru ingat badanku belum terguyur air sejak kemaren sore
saat berangkat ke terminal Kampung Rambutan.
Menantang Ombak Pantai
Batu Karas
Sekitar jam 2 siang,
petualangan berlanjut. Kini kami menuju Green Canyon yang terkenal. Perjalanan
ternyata tidak mudah. Medan yang harus kami lalui cukup berat dengan banyaknya
lobang di jalan yang disebabkan lalu lalang kendaraan penambang pasir besi. Ai
tidak yakin loket Green Canyon masih dibuka karena hari telah beranjak sore.
Aku menghela nafas. Meski telah sampai di Pangandaran, sepertinya aku tidak
bisa menikmati keindahan Green Canyon. "Tidak usah resah. Air di Green
Canyon biasanya butek bila habis hujan sepert sekarang," ucap Ai memberiku
alasan untuk tidak kecewa.
![]() |
Loket Green Canyon |
Sesampainya di lokasi
wisata, loket masih terbuka. "Hore!!!" Teriakku dalam hati.
Sayangnya, antrian panjang mengular panjang ke belakang sementara perahu-perahu
juga sesak dengan para penumpang. Seperti yang Ai katakan, air sungai menuju
Green Canyon memang keruh. Sementara itu, jam telah menunjukkan angka 4 sore.
Niatku menyusuri Green Canyon akhirnya runtuh. Banting setir, kini kami melesat
menuju Pantai Baru Karas.
Perjalanan ke pantai
yang menjadi idola peselancar ini juga tak kalah berat. Namun setelah menggebah
motor seperti orang kesetanan, pantai indah yang disesaki pengunjung pun mulai
kelihatan. Sayang alam sedang tak bersahabat. Awan kelabu menggelantung di langit
Pangandaran. Setelah memarkir sepeda motor, kami langsung turun ke pantai. Aku
langsung menitipkan tas pada Ai karena Ia tak mau ikut berenang. Sebagai warga
setempat mungkin Ia sudah bosan.
Akhirnya aku membuktikan
sendiri bahwa ombak Pantai Batu Karas memang luar biasa. Para peselancar yang
baru mulai belajar terlihat kegirangan karena dapat berdiri di atas papan
selancarnya. Turis lokal maupun asing bercampur dalam keceriaan menyambut ombak
yang datang. Dalam sekejap, aku telah berdiri di antara mereka. Entah bagaimana
dan siapa yang memulai, orang-orang berjejer untuk menantang arus yang datang.
Sekali ombak datang menghempas, orang-orang itu akan terpental mundur
bersamaan. Aku merasa ada kereta api yang menubruk tubuhku dengan keras.
Saking senangnya tak
terasa gerimis mulai turun. Beberapa orang terlihat pergi menuju bibir pantai
dan menyudahi permainannya. Meski begitu, masih banyak yang bertahan dan enggan
menyudahi kegembiraan, termasuk Aku. Ombak pun mulai tinggi.
Perlahan aku merasa
bahwa kakiku mulai kram. Melihat Ai yang sedang asyik membidikkan kamera, aku
menuju ke arahnya di tepian pantai yang berpayung batu karang. Dadaku berdegup
kencang. Spontan saja kurebahkan badan. Urat pelipisku berdenyut-denyut bagai
ulat kepanasan. Nafasku tersengal sedang kepalaku berat tak mampu ku tahan.
![]() |
Lelah Melawan Ombak |
Sejenak menenangkan
diri, beberapa saat kemudian kami sudah berada di warung tempat kami memarkir
sepeda motor. Mandi dan keramas membuat badanku kembali segar. Aku hanya
mengeluarkan uang Rp 2000 untuk sewa kamar mandi dan Rp 1000 untuk satu sachet
shampoo. Kami harusnya sudah pulang bila hujan tak menghalangi. Ai harus segera
kembali untuk mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk acara besok. Sambil
menunggu langit menghentikan tangis, secangkir teh hangat menemani sore kami
yang dingin.
Hingga jam 6 sore, belum
ada tanda hujan akan berhenti. Akhirnya kami membungkus diri dengan jas hujan
plastik lalu menerobos derasnya hujan. Rasanya tak perlu kuceritakan kembali
bagaimana jalanan membuat kami terguncang-guncang. Kali ini tentu lebih parah
seiring rintik yang menusuk wajah bagai tajamnya jarum akupuntur.
Sesampai di rumah, kami
sudah kelelahan. Namun santap malam khas Pangandaran cukup mengembalikan
energi. Tak berapa lama kemudian kami sudah kembali berada di atas motor menuju
saung, tempat teman-teman Ai sedang melakukan persiapan.
Di Saung telah ada
beberapa orang yang berkumpul. Tiga-empat orang diantaranya sudah aku kenal
sejak tadi siang. Di pojok saung terdapat enam orang yang sedang memainkan
musik sementara di sudut lain juga tidak kalah kesibukan. Setelah agak malam,
semuanya berlatih untuk pementasan teater. Hanya aku saja di ruangan itu yang
mencari kesibukan lain dengan mengutak-atik komputer. Malam pun berlalu. Rasa
penat menghantarkan kami tidur dengan pulas. Besok masih ada petualangan baru
yang harus dijalani.
Wonderful Place of
Adorable People
Udara Pangandaran terasa
sejuk seiring fajar yang menyingsing. Ibu Ai dengan penuh perhatian menyeduhkan
kopi untuk kami. Tapi mengapa aku malah disuguhkan susu? Mungkinkah aku
dianggap terlalu "cupu" untuk secangkir kopi? Haha... Tapi ya
sudahlah, susu hangat juga tidak kalah nikmat. Sambil lalu Ai dan
teman-temannya mengurusi kursi dan peralatan audio, aku duduk diteras rumah
ditemani sang ayah. Aku bukannya tidak mau menolong. Selain Ai melarang, aku
juga tidak tahu kemana harus menjemput kursi dan peralatan sound system yang
diperlukan.
Ketika matahari mulai
meninggi, kami sudah bersiap menuju saung. Ternyata Ai meninggalkanku pergi
lebih dulu. Untungnya Ia meninggalkan kunci sepeda motor. Selama perjalanan,
mendung lagi-lagi membayangi. Bahkan saat aku memarkir sepeda motor di samping
saung, gerimis mulai turun. Waduh, bagaimana jadinya acara pagi ini? Di saung telah
ada beberapa teman yang bersiap. Kursi sudah tertata, penerima tamu telah stand
by, dan daftar tamu siap tuk diisi. Kami hanya bisa menunggu langit mau
bersahabat.
Untunglah tidak lama
kemudian hujan mulai berhenti. Tamu-tamu berdatangan dan acara dapat
berlangsung dengan khidmat. Setelah pembukaan yang formal, diskusi antara
komunitas Sabalat dengan orang tua, penduduk, dan perangkat desa berjalan
dengan lancar. Di akhir acara, komunitas Sabalat menampilkan teater yang
berlakon "cacat". Saat jam menunjukkan angka 1 siang, seluruh
rangkaian acara telah berakhir tuntas. Seluruh panitia berkumpul di dalam Saung
tuk melepas lelah sekalian evaluasi. Hanya aku yang nampaknya satu-satunya
orang "asing" di ruangan ini.
Rasa lelah mengundang
kantuk lebih cepat. Dalam sekejap, hampir semua orang terlelap dalam tidur
siang yang nikmat. Hanya ada beberapa orang yang terlihat asyik masyuk dalam
perbincangan. Sebelum tertidur, Ai mengatakan akan mengajakku ke Citumang,
sebuah sungai yang juga menjadi destinasi pilihan para wisatawan. Aku hanya
mengagguk melihat wajahnya yang letih. "Santai," ujarku pada
akhirnya.
Menjamahi Citumang Yang
Seksi
Saat hari beranjak sore,
semua orang telah bangun. Kami bersiap-siap melanjutkan petualangan di bumi
Pangandaran. Sebenarnya, ini petualanganku karena bagi mereka wilayah ini tentu
rumah sendiri. Awalnya, aku kira hanya Ai dan aku yang akan pergi. Ternyata,
hampir semua anggota Sabalat juga ikut serta. Menaiki 6-7 motor kami berkonvoi
menuju Citumang. Jalan yang kami lalui mulanya masih mulus-mulus saja. Namun
saat mulai masuk ke jalan yang lebih kecil, jalan berliku, terjal, dan
berkerikil tajam menemani perjalanan kami hingga sampai di tujuan.
Di sisi kanan jalan yang
kami lewati, terdapat semacam sungai yang nampaknya dibangun oleh warga. Sungai
ini mengalir melewati rumah-rumah penduduk dan dipergunakan untuk keperluan
sehari-hari. Uniknya, di beberapa bagian aku melihat gubuk kecil berbentuk
persegi dibangun di tepiannya. Gubuk itu biasanya ditutupi menggunakan kain
sarung yang dipasang memutar. Aku yakin bahwa gubuk itu dipergunakan sebagai
kamar mandi seperti yang ada di film-film jaman dulu. Bukankah dari tempatku
berjalan sekarang, hampir separuh isi gubuk itu dapat terlihat? Bagaimana bila
ada perempuan yang sedang mandi atau semacamnya? Lalu bagaimana bila malam
tiba? Tidakkah binatang seperti ular dapat berbahaya? Ah, segera kutepis saja
pikiran yang tidak-tidak.
Sesampai di Citumang,
kami disambut sebuah pemandangan yang apik. Wilayah ini dikelilingi hutan
dengan pepohonan yang besar-besar. Aku seakan berada di dalam hutan tropis yang
lebat dengan suara aliran air yang deras. Dari tempat parkir kami berjalan kaki
masuk ke dalam. Bekas hujan tadi pagi menyisakan genangan di beberapa tempat
dan tentu saja jalan berlumut yang licin. Saat aliran sungai Citumang terlihat,
aku mulai kegirangan. Sayang, airnya keruh.
![]() |
Pintu Masuk Citumang |
Di lokasi renang ada
beberapa orang bule yang sedang berganti baju. Dua orang yang terlihat sebagai
tour guide sedang memandu mereka mengenal lokasi ini. Alam di sini begitu asri.
Tanpa babibu Ai dan beberapa orang sudah terjun ke dalam sungai. Setelah
berganti baju, aku langsung bergabung. "Gila, kenceng banget
arusnya," ucapku saat merasakan pijakanku bergetar diterjang arus.
"Haha..., pegangan ke tali biar ga hanyut," jawab seorang teman.
Ternyata benar, pengelola memasang tali membujur dan melintang sebagai
pegangan. Arusnya begitu kuat, mungkin juga dipengaruhi oleh hujan yang turun
beberapa hari belakangan.
![]() |
Suasana Lain Citumang |
Sungai ini berhulu di
sebuah gua yang terletak di ujungnya. Untuk ke sana, pengunjung harus melawan
arus sambil berpegangan ke seutas tali. Aku mencoba melepaskan pegangan dan
berusaha sekuat tenaga melawan arah arus. Hasilnya? Selama beberapa waktu aku
hanya berenang di tempat meski kukayuhkan kaki sekuat mungkin. Edan, mungkin
begini rasanya orang yang hanyut tertelan ombak di lautan karena lelah melawan
arus. Saat kakiku mulai kram, aku pasrah dan kembali meraih tali.
Sementara itu, Ai
mengikuti seorang pengunjung yang mendaki tebing sungai. Mereka akan loncat
dari ketinggian sekitar enam meter. Nafasku sudah habis, aku mengurungkan niat
mengikuti mereka. Bila dapat dibandingkan, berenang lima menit di sini bagai
berenang setengah jam di Batu Karas.
![]() |
Derasnya Aliran Air Citumang |
Saat suara dentuman
terdengar, orang pertama yang tadi memanjat tebing telah berada di bawah dengan
busa yang mengelilingi dirinya. Kini giliran Ai. Ia nampak ragu dan berteriak
ke bawah minta difoto. Berkali-kali Ia berusaha melompat, namun kembali mundur.
Sementara itu, baterai kamera yang kupegang mulai kedap-kedip kehilangan daya.
"Ai, ini foto terakhir, baterainya mau abis. Lo loncat sekarang juga
karena gue akan paksa kameranya!" Aku teriak ke arahnya sekencang mungkin.
"Oke, gue loncat sekarang!" jawabnya sambil loncat. Aku arahkan
kamera secepat mungkin ke arahnya. Sekelebat saja lalu mati. Aku paksa
menghidupkannya kembali sambil melihat Ai yang sudah menyentuh permukaan air.
Nihil, gambarnya tak tertangkap. Aku diam saja. "Maaf Ai, lain kali saja
aku potret kembali," gumamku dalam hati sambil berpura-pura tak tahu,
hehe....
Sebentar saja kami sudah
berada kembali di tepi sungai. Dengan nafas tersengal-sengal kami melonjorkan
kaki. Dada kami naik turun. Anehnya, sudah merasa capai tapi teman-temanku itu
masih menyempatkan diri melinting rokok dan menyulutnya. Aku sendiri tak
sanggup. Beberapa bule yang tadi turun ke sungai juga sudah kembali naik. Dari
perawakannya, mereka terlihat seperti orang asal Eropa Timur. Meskipun belum
pernah ke sana, setidaknya begitu yang aku lihat di film-film.
Setinggi-tingginya Elang
Terbang, Ke Sarang Jua Ia Kembali
Hari pun beranjak sore.
Kami bergegas tuk kembali pulang. Tadinya kukira Ai akan langsung mengantarku
ke Terminal, namun ternyata tidak. Dengan kecepatan penuh kami berkejaran
dengan matahari yang akan tenggelam untuk menuju rumah. Baju yang kupakai masih
baju yang sama yang kugunakan untuk berenang. "Celaka, bakal masuk angin
nih nyampe rumah," teriakku dari belakang motor. "Abdi oge!"
Timpal yang lain.
Benar saja, sesampainya
di rumah aku merasa badanku agak panas dingin. Kepala panas sementara badan
terasa dingin menggigil. Untungnya, guyuran air di atas kepalaku mampu membuat
kesadaranku kembali. Seakan-akan ada uap yang menyelinap dari kedua lobang
telingaku. Saat makan malam, aku hangatkan perutku dengan sepiring nasi hangat,
sepotong telor dadar, dan secuil sambal dari cabe belakang rumah yang diulek
dengan tradisional. Entah apa yang terjadi, makanan sederhana itu menjadi
sangat mewah untukku. Mungkin ini yang disebut orang dengan experience.
![]() |
Men in Action |
Malam terasa sangat
cepat. Jam yang tergantung di dinding hampir menunjukkan angka 7 malam. Aku
harus segera ke terminal bila ingin sampai esok harinya di Jakarta. Aku dan Ai
acuh tak acuh soal ini andai Ibunya tak mengingatkan. "Dasar anak-anak
muda," mungkin begitu katanya dalam hati. Segera kuambil tas dan
memasukkan barang-barangku, termasuk pakaian basah yang kupakai untuk berenang.
Sesaat setelah motor menyala, segera kusalami Ibu Ai dan kami melesat menembus
malam. Ayah Ai sedang berada di masjid sehingga aku tak sempat berpamitan.
Kenangan di Pangandaran seakan terbang melintasiku. "Tunggulah, suatu saat
aku kan kembali mengunjungimu," lirihku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar