Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Jumat, 26 April 2013

Bertualang Di Tanah Pangandaran



Menuju Pangandaran, 29 Maret 2013

Saat menulis ini aku sedang berada di atas bus Gapuraning Rahayu menuju Pangandaran. Weekend yang diawali dengan tanggal merah Jum'at Agung menjadi waktu yang tepat untukku berjalan-jalan. Beberapa minggu ini pikiranku memang suntuk tak karuan. Selain soal kerjaan yang selalu "ada-ada aja", pikiranku juga kalut menyelesaikan esai beasiswa yang sedang kukejar.

Terminal Kampung Rambutan
Sambil aku menulis, suara sendu penyanyi cantik Nike Ardila mengalun di dalam bus. "Hanya iman di dada, yang buatku mampu, selalu tabah menghadapi...." Ini adalah lagu ketiga. Belum menginjakkan kaki di tanah Pajajaran, aku sudah dikepung perasaan nostalgia melalui nada-nada awewek asli Bandung ini. Sangat Jawa Barat! Meski telah lama pergi, suara Nike telah melemparkanku kembali pada masa kecil saat aku duduk di teras rumah sambil mendengarkan lagu-lagunya melalui radio tape pamanku.

Menanti Bus Gapuraning Rahayu
Sebelumnya aku belum pernah menyambangi Pangandaran. Saat aku tanya pada kenek bus jam berapa kira-kira sampai, Ia menjawab, "wah, tidak tau ya mas. Soalnya lagi libur, mungkin bakal macet." Aku pun tidak masalah, toh ini liburan. Jam berapa pun sampai Pangandaran, aku nikmati saja.

Sebelum pergi tadi sore, aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat Pangandaran melalui Internet. Sangat indah ternyata. Pangandaran juga disebut-sebut sebagai Bali-nya Jawa Barat. Satu destinasi yang populer adalah Green Canyon. Meski namanya mirip dengan Grand Canyon di Arizona yang pernah aku singgahi dulu, yang ini katanya benar-benar "green" dengan sungai yang mengalir di bawah tebing penuh pepohonan. Aku pun penasaran. Semoga Ai, temanku yang akan menemani akhir pekanku di Pangandaran, dapat mengantarku besok ke sana.

Mengejar Sunrise Pantai Pangandaran

Jam 04.05 WIB, aku sampai di pool Gapuraning Rahayu. Kepalaku pening sementara perutku seakan diaduk-aduk. Baru saja aku SMS Ai mengabarkan bahwa aku telah sampai, namun aku yakin Ia takkan datang sepagi ini. Tiba-tiba saja teleponku berdering, ada SMS masuk. Si Ai ternyata. Entah temanku yang gondrong ini tidak tidur atau memang telah bangun sepagi ini untuk tahajud. Ah, yang penting jemputanku akan segera tiba. Urat kepalaku sudah kusut terlalu lama terbentur sandaran kursi dan jendela bus.

Selepas shalat Shubuh di pool, Ai datang sambil celingukan mencari diriku. Aku melambai dan Ia datang menghampiri. Di tangannya Ia memegang bungkusan plastik yang berisi gorengan. Nikmat, pagi yang dingin ditemani setumpuk gorengan yang masih hangat. Aku pun mengeluarkan bungkusan donat yang kubeli di atas bus.



Sedikit mengisi perut, kami meluncur tuk mengejar sunrise. Ai mengajakku mengelilingi pantai Pangandaran. Benar saja, jejeran toko dan penginapan mengisi setiap ruas jalan dengan riuh pengunjung yang berlalu lalang. Ini masih jam 5.30 pagi, namun orang-orang mulai keluar dari penginapan dan menuju pantai.

Kami berputar mengelilingi pantai timur dan barat serta gang-gang sempit yang membujur, melintang, dan melingkar. Ai menunjukkan kelihaiannya dalam mengenali setiap jalan pintas dan tempat-tempat menarik sekitar pantai Pangandaran. Cukup lama berputar-putar, kami berhenti di sebuah tempat rekreasi banana boat dengan jembatan yang menjorok panjang ke laut.

Suasana Sunrise Pangandaran
Di sebuah teras ubin yang menghadap laut, kami duduk menanti sang mentari muncul dari balik cakrawala. Beberapa orang juga duduk di samping kami sedang yang lain sibuk berlalu lalang. Bekas hujan semalam masih menyisakan awan yang menggelantung di langit Pangandaran. "Pun bila matahari muncul hari ini, tentu Ia akan langsung tinggi karena saat terbit sedang tertutup awan," ujarku pada Ai.

Menikmati Sunrise
Benar saja, cukup lama kami menanti hingga kemudian sinar hangat mencuat dari balik awan diikuti wajah cerah sang mentari. Aku pun mengambil kamera dan mulai mengabadikannya. Sambil menikmati sunrise, secangkir kopi dan susu hangat menemani wajah kusut kami pagi ini. Lengkap menikmati langit yang jingga, motor kembali menyala. Kini kami menuju sisi pantai yang lain.

Jelajah Pantai Pasir Putih Yang Mempesona

Setibanya di tempat tujuan, Ai berhenti di sebuah warung yang terletak tidak jauh dari sisi pantai. Kali ini susu putih hangat Ia pesan. Ia mengatakan padaku semalam Ia baru tidur jam dua. Mungkinkah karena itu perutnya seakan tak pernah kembung? Aku tidak pesan apa-apa. Perutku tak bisa dikompromi sejak semalam.

Pantai Pangandaran ramai bukan main. Perahu-perahu tak lagi tertambat. Para nelayan kini sibuk mengantar pengunjung menuju Pantai Pasir Putih yang terletak di balik tebing. "Kita bisa jalan kaki ke Pantai itu dan bayar Rp 8.000 di pintu masuk. Bila naik kapal, ongkosnya Rp 10.000. Tapi gue ada ide lain," ujar Ai.

Bila Ai mengatakan ada ide lain, itu artinya ada ide iseng yang sedang ia siapkan. Ia mendekati seorang lelaki yang sedang berdiri di pagar kawat duri yang memisahkan kedua pantai. Dengan melintasi pagar ini, kami dapat langsung sampai di Pantai Pasir Putih tanpa harus berjalan kaki memutar ataupun naik kapal.

Dengan mengandalkan modalnya sebagai orang lokal, negosiasi Ai berhasil. Kami meloncati pagar dan mulai menyusuri Pantai dengan pepohonan yang rimbun ditemani kawanan kera, rusa, dan hamparan pasir putih yang luas. Sayangnya, kali ini tumpukan manusia memadati pantai ini sambil asyik bermain banana boat, snorkeling, atau sekedar bermain-main. Riuh anak-anak juga tak ketinggalan saat mereka sibuk membangun istana pasir.

Pantai Pasir Putih Pangandaran
Keinginanku untuk snorkeling akhirnya pupus setelah melihat air laut yang mulai pasang. Beberapa orang yang sedang ber-snorkeling tampak terombang ambing oleh ombak. Menurut Ai, taman laut yang berada di tengah menjadi tak terlihat jelas saat gelombang tinggi seperti sekarang. Akhirnya, kami hanya berkeliling dan mengambil gambar pemandangan sekitar.

Menyambangi Saung Komunitas Sabalat

Lelah mulai menjalari kaki kami sementara matahari mulai meninggi. Ai mengajakku ke rumahnya. Diluar dugaanku, rumah Ai terletak cukup jauh dari area pantai Pangandaran meski menurutnya dekat. Sebelum mengistirahatkan diri di rumahnya, Ai mengajakku mampir ke saung yang menjadi markas komunitas Sabalat yang Ia dirikan.

Yup, selepas kuliah Ai memilih untuk pulang ke kampung halaman. Ia mendedikasikan diri untuk membangun daerah kelahirannya dengan merangkul anak-anak muda untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan masyarakat sekitar. Saung yang terletak di tanah seluas 10 meter persegi ini layaknya sauna ditengah padang pasir. Di tengah hamparan sawah dan kebun, saung Sabalat menjadi pusat aktivitas anak muda Pangandaran dalam berkarya.

Saung ini dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami. Tak ada bata yang digunakan seperti halnya pada bangunan moderen. Atap dari daun kelapa, pantai dari papan, serta aksesori menarik dari bahan bambu menjadi komposisi yang pas guna merepresentasikan spirit kebudayaan dan warisan lokal. Dananya pun dikumpulkan dengan swadaya meski sebagian besar dibantu dana pribadi orang tua Ai. Memang, buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Keluarga ini memiliki perhatian yang tinggi terhadap pemberdayaan petani dan masyarakat. "Yah, ada yang nyumbang kayu, papan, dan bahan-bahan lain yang diperlukan sehingga saung ini dapat berdiri," ujar Ibu Yuyun, wanita yang telah melahirkan Ai saat menemuiku di saung.

Setelah berbincang-bincang, Aku dan Ai pergi menuju rumahnya untuk makan siang dan mandi. Ah, mandi! Aku baru ingat badanku belum terguyur air sejak kemaren sore saat berangkat ke terminal Kampung Rambutan.

Menantang Ombak Pantai Batu Karas

Sekitar jam 2 siang, petualangan berlanjut. Kini kami menuju Green Canyon yang terkenal. Perjalanan ternyata tidak mudah. Medan yang harus kami lalui cukup berat dengan banyaknya lobang di jalan yang disebabkan lalu lalang kendaraan penambang pasir besi. Ai tidak yakin loket Green Canyon masih dibuka karena hari telah beranjak sore. Aku menghela nafas. Meski telah sampai di Pangandaran, sepertinya aku tidak bisa menikmati keindahan Green Canyon. "Tidak usah resah. Air di Green Canyon biasanya butek bila habis hujan sepert sekarang," ucap Ai memberiku alasan untuk tidak kecewa.

Loket Green Canyon
Sesampainya di lokasi wisata, loket masih terbuka. "Hore!!!" Teriakku dalam hati. Sayangnya, antrian panjang mengular panjang ke belakang sementara perahu-perahu juga sesak dengan para penumpang. Seperti yang Ai katakan, air sungai menuju Green Canyon memang keruh. Sementara itu, jam telah menunjukkan angka 4 sore. Niatku menyusuri Green Canyon akhirnya runtuh. Banting setir, kini kami melesat menuju Pantai Baru Karas.

Perjalanan ke pantai yang menjadi idola peselancar ini juga tak kalah berat. Namun setelah menggebah motor seperti orang kesetanan, pantai indah yang disesaki pengunjung pun mulai kelihatan. Sayang alam sedang tak bersahabat. Awan kelabu menggelantung di langit Pangandaran. Setelah memarkir sepeda motor, kami langsung turun ke pantai. Aku langsung menitipkan tas pada Ai karena Ia tak mau ikut berenang. Sebagai warga setempat mungkin Ia sudah bosan.

Akhirnya aku membuktikan sendiri bahwa ombak Pantai Batu Karas memang luar biasa. Para peselancar yang baru mulai belajar terlihat kegirangan karena dapat berdiri di atas papan selancarnya. Turis lokal maupun asing bercampur dalam keceriaan menyambut ombak yang datang. Dalam sekejap, aku telah berdiri di antara mereka. Entah bagaimana dan siapa yang memulai, orang-orang berjejer untuk menantang arus yang datang. Sekali ombak datang menghempas, orang-orang itu akan terpental mundur bersamaan. Aku merasa ada kereta api yang menubruk tubuhku dengan keras.

Saking senangnya tak terasa gerimis mulai turun. Beberapa orang terlihat pergi menuju bibir pantai dan menyudahi permainannya. Meski begitu, masih banyak yang bertahan dan enggan menyudahi kegembiraan, termasuk Aku. Ombak pun mulai tinggi.

Perlahan aku merasa bahwa kakiku mulai kram. Melihat Ai yang sedang asyik membidikkan kamera, aku menuju ke arahnya di tepian pantai yang berpayung batu karang. Dadaku berdegup kencang. Spontan saja kurebahkan badan. Urat pelipisku berdenyut-denyut bagai ulat kepanasan. Nafasku tersengal sedang kepalaku berat tak mampu ku tahan.

Lelah Melawan Ombak
Sejenak menenangkan diri, beberapa saat kemudian kami sudah berada di warung tempat kami memarkir sepeda motor. Mandi dan keramas membuat badanku kembali segar. Aku hanya mengeluarkan uang Rp 2000 untuk sewa kamar mandi dan Rp 1000 untuk satu sachet shampoo. Kami harusnya sudah pulang bila hujan tak menghalangi. Ai harus segera kembali untuk mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk acara besok. Sambil menunggu langit menghentikan tangis, secangkir teh hangat menemani sore kami yang dingin.

Hingga jam 6 sore, belum ada tanda hujan akan berhenti. Akhirnya kami membungkus diri dengan jas hujan plastik lalu menerobos derasnya hujan. Rasanya tak perlu kuceritakan kembali bagaimana jalanan membuat kami terguncang-guncang. Kali ini tentu lebih parah seiring rintik yang menusuk wajah bagai tajamnya jarum akupuntur.

Sesampai di rumah, kami sudah kelelahan. Namun santap malam khas Pangandaran cukup mengembalikan energi. Tak berapa lama kemudian kami sudah kembali berada di atas motor menuju saung, tempat teman-teman Ai sedang melakukan persiapan.

Di Saung telah ada beberapa orang yang berkumpul. Tiga-empat orang diantaranya sudah aku kenal sejak tadi siang. Di pojok saung terdapat enam orang yang sedang memainkan musik sementara di sudut lain juga tidak kalah kesibukan. Setelah agak malam, semuanya berlatih untuk pementasan teater. Hanya aku saja di ruangan itu yang mencari kesibukan lain dengan mengutak-atik komputer. Malam pun berlalu. Rasa penat menghantarkan kami tidur dengan pulas. Besok masih ada petualangan baru yang harus dijalani.

Wonderful Place of Adorable People

Udara Pangandaran terasa sejuk seiring fajar yang menyingsing. Ibu Ai dengan penuh perhatian menyeduhkan kopi untuk kami. Tapi mengapa aku malah disuguhkan susu? Mungkinkah aku dianggap terlalu "cupu" untuk secangkir kopi? Haha... Tapi ya sudahlah, susu hangat juga tidak kalah nikmat. Sambil lalu Ai dan teman-temannya mengurusi kursi dan peralatan audio, aku duduk diteras rumah ditemani sang ayah. Aku bukannya tidak mau menolong. Selain Ai melarang, aku juga tidak tahu kemana harus menjemput kursi dan peralatan sound system yang diperlukan.

Ketika matahari mulai meninggi, kami sudah bersiap menuju saung. Ternyata Ai meninggalkanku pergi lebih dulu. Untungnya Ia meninggalkan kunci sepeda motor. Selama perjalanan, mendung lagi-lagi membayangi. Bahkan saat aku memarkir sepeda motor di samping saung, gerimis mulai turun. Waduh, bagaimana jadinya acara pagi ini? Di saung telah ada beberapa teman yang bersiap. Kursi sudah tertata, penerima tamu telah stand by, dan daftar tamu siap tuk diisi. Kami hanya bisa menunggu langit mau bersahabat.

Untunglah tidak lama kemudian hujan mulai berhenti. Tamu-tamu berdatangan dan acara dapat berlangsung dengan khidmat. Setelah pembukaan yang formal, diskusi antara komunitas Sabalat dengan orang tua, penduduk, dan perangkat desa berjalan dengan lancar. Di akhir acara, komunitas Sabalat menampilkan teater yang berlakon "cacat". Saat jam menunjukkan angka 1 siang, seluruh rangkaian acara telah berakhir tuntas. Seluruh panitia berkumpul di dalam Saung tuk melepas lelah sekalian evaluasi. Hanya aku yang nampaknya satu-satunya orang "asing" di ruangan ini.

Rasa lelah mengundang kantuk lebih cepat. Dalam sekejap, hampir semua orang terlelap dalam tidur siang yang nikmat. Hanya ada beberapa orang yang terlihat asyik masyuk dalam perbincangan. Sebelum tertidur, Ai mengatakan akan mengajakku ke Citumang, sebuah sungai yang juga menjadi destinasi pilihan para wisatawan. Aku hanya mengagguk melihat wajahnya yang letih. "Santai," ujarku pada akhirnya.

Menjamahi Citumang Yang Seksi

Saat hari beranjak sore, semua orang telah bangun. Kami bersiap-siap melanjutkan petualangan di bumi Pangandaran. Sebenarnya, ini petualanganku karena bagi mereka wilayah ini tentu rumah sendiri. Awalnya, aku kira hanya Ai dan aku yang akan pergi. Ternyata, hampir semua anggota Sabalat juga ikut serta. Menaiki 6-7 motor kami berkonvoi menuju Citumang. Jalan yang kami lalui mulanya masih mulus-mulus saja. Namun saat mulai masuk ke jalan yang lebih kecil, jalan berliku, terjal, dan berkerikil tajam menemani perjalanan kami hingga sampai di tujuan.

Di sisi kanan jalan yang kami lewati, terdapat semacam sungai yang nampaknya dibangun oleh warga. Sungai ini mengalir melewati rumah-rumah penduduk dan dipergunakan untuk keperluan sehari-hari. Uniknya, di beberapa bagian aku melihat gubuk kecil berbentuk persegi dibangun di tepiannya. Gubuk itu biasanya ditutupi menggunakan kain sarung yang dipasang memutar. Aku yakin bahwa gubuk itu dipergunakan sebagai kamar mandi seperti yang ada di film-film jaman dulu. Bukankah dari tempatku berjalan sekarang, hampir separuh isi gubuk itu dapat terlihat? Bagaimana bila ada perempuan yang sedang mandi atau semacamnya? Lalu bagaimana bila malam tiba? Tidakkah binatang seperti ular dapat berbahaya? Ah, segera kutepis saja pikiran yang tidak-tidak.

Sesampai di Citumang, kami disambut sebuah pemandangan yang apik. Wilayah ini dikelilingi hutan dengan pepohonan yang besar-besar. Aku seakan berada di dalam hutan tropis yang lebat dengan suara aliran air yang deras. Dari tempat parkir kami berjalan kaki masuk ke dalam. Bekas hujan tadi pagi menyisakan genangan di beberapa tempat dan tentu saja jalan berlumut yang licin. Saat aliran sungai Citumang terlihat, aku mulai kegirangan. Sayang, airnya keruh.

Pintu Masuk Citumang
Di lokasi renang ada beberapa orang bule yang sedang berganti baju. Dua orang yang terlihat sebagai tour guide sedang memandu mereka mengenal lokasi ini. Alam di sini begitu asri. Tanpa babibu Ai dan beberapa orang sudah terjun ke dalam sungai. Setelah berganti baju, aku langsung bergabung. "Gila, kenceng banget arusnya," ucapku saat merasakan pijakanku bergetar diterjang arus. "Haha..., pegangan ke tali biar ga hanyut," jawab seorang teman. Ternyata benar, pengelola memasang tali membujur dan melintang sebagai pegangan. Arusnya begitu kuat, mungkin juga dipengaruhi oleh hujan yang turun beberapa hari belakangan.

Suasana Lain Citumang
Sungai ini berhulu di sebuah gua yang terletak di ujungnya. Untuk ke sana, pengunjung harus melawan arus sambil berpegangan ke seutas tali. Aku mencoba melepaskan pegangan dan berusaha sekuat tenaga melawan arah arus. Hasilnya? Selama beberapa waktu aku hanya berenang di tempat meski kukayuhkan kaki sekuat mungkin. Edan, mungkin begini rasanya orang yang hanyut tertelan ombak di lautan karena lelah melawan arus. Saat kakiku mulai kram, aku pasrah dan kembali meraih tali.

Sementara itu, Ai mengikuti seorang pengunjung yang mendaki tebing sungai. Mereka akan loncat dari ketinggian sekitar enam meter. Nafasku sudah habis, aku mengurungkan niat mengikuti mereka. Bila dapat dibandingkan, berenang lima menit di sini bagai berenang setengah jam di Batu Karas.

Derasnya Aliran Air Citumang
Saat suara dentuman terdengar, orang pertama yang tadi memanjat tebing telah berada di bawah dengan busa yang mengelilingi dirinya. Kini giliran Ai. Ia nampak ragu dan berteriak ke bawah minta difoto. Berkali-kali Ia berusaha melompat, namun kembali mundur. Sementara itu, baterai kamera yang kupegang mulai kedap-kedip kehilangan daya. "Ai, ini foto terakhir, baterainya mau abis. Lo loncat sekarang juga karena gue akan paksa kameranya!" Aku teriak ke arahnya sekencang mungkin. "Oke, gue loncat sekarang!" jawabnya sambil loncat. Aku arahkan kamera secepat mungkin ke arahnya. Sekelebat saja lalu mati. Aku paksa menghidupkannya kembali sambil melihat Ai yang sudah menyentuh permukaan air. Nihil, gambarnya tak tertangkap. Aku diam saja. "Maaf Ai, lain kali saja aku potret kembali," gumamku dalam hati sambil berpura-pura tak tahu, hehe....

Sebentar saja kami sudah berada kembali di tepi sungai. Dengan nafas tersengal-sengal kami melonjorkan kaki. Dada kami naik turun. Anehnya, sudah merasa capai tapi teman-temanku itu masih menyempatkan diri melinting rokok dan menyulutnya. Aku sendiri tak sanggup. Beberapa bule yang tadi turun ke sungai juga sudah kembali naik. Dari perawakannya, mereka terlihat seperti orang asal Eropa Timur. Meskipun belum pernah ke sana, setidaknya begitu yang aku lihat di film-film.

Setinggi-tingginya Elang Terbang, Ke Sarang Jua Ia Kembali

Hari pun beranjak sore. Kami bergegas tuk kembali pulang. Tadinya kukira Ai akan langsung mengantarku ke Terminal, namun ternyata tidak. Dengan kecepatan penuh kami berkejaran dengan matahari yang akan tenggelam untuk menuju rumah. Baju yang kupakai masih baju yang sama yang kugunakan untuk berenang. "Celaka, bakal masuk angin nih nyampe rumah," teriakku dari belakang motor. "Abdi oge!" Timpal yang lain.

Benar saja, sesampainya di rumah aku merasa badanku agak panas dingin. Kepala panas sementara badan terasa dingin menggigil. Untungnya, guyuran air di atas kepalaku mampu membuat kesadaranku kembali. Seakan-akan ada uap yang menyelinap dari kedua lobang telingaku. Saat makan malam, aku hangatkan perutku dengan sepiring nasi hangat, sepotong telor dadar, dan secuil sambal dari cabe belakang rumah yang diulek dengan tradisional. Entah apa yang terjadi, makanan sederhana itu menjadi sangat mewah untukku. Mungkin ini yang disebut orang dengan experience.

Men in Action
Malam terasa sangat cepat. Jam yang tergantung di dinding hampir menunjukkan angka 7 malam. Aku harus segera ke terminal bila ingin sampai esok harinya di Jakarta. Aku dan Ai acuh tak acuh soal ini andai Ibunya tak mengingatkan. "Dasar anak-anak muda," mungkin begitu katanya dalam hati. Segera kuambil tas dan memasukkan barang-barangku, termasuk pakaian basah yang kupakai untuk berenang. Sesaat setelah motor menyala, segera kusalami Ibu Ai dan kami melesat menembus malam. Ayah Ai sedang berada di masjid sehingga aku tak sempat berpamitan. Kenangan di Pangandaran seakan terbang melintasiku. "Tunggulah, suatu saat aku kan kembali mengunjungimu," lirihku dalam hati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular