Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Selasa, 02 Maret 2010

NARSISME DAN FACEBOOK

Mengakarnya budaya ber-FB-an di masyarakat sering dikaitkan dengan istilah narsisme. Ketika seseorang sering mengabadikan gambar dirinya dengan kamera, itulah narsis. Bila seseorang memuji diri dengan sangat, itulah narsis. Pun saat seseorang menghendaki orang lain untuk mengagumi dirinya melebihi siapapun, itulah narsis. Benarkah pengertian narsis adalah itu?

Sebagai situs jejaring sosial yang sedang diminati oleh berbagai kalangan, facebook tidak sekedar berperan sebagai fenomena, namun juga merupakan objek sosial itu sendiri. Meskipun pada awalnya Mark Zuckerberg hanya bermaksud untuk menjadikan facebook sebagai media komunikasi mahasiswa Harvard, pada realitanya facebook malah menjadi idola di berbagai belahan dunia.

Pertanyaannya kemudian apakah kehadiran facebook yang telah merubah perilaku masyarakat (terutama Indonesia) untuk lebih dekat dengan narsisme? Ataukah ia menjadi pelampiasan narsisme setiap orang yang memang telah ada dalam diri masing-masing sehingga menjadi lebih akomodatif? Kompleksitas hubungan facebook dan narsisme tidak sebatas mengikat pengguna dengan facebook, namun masih terdapat satu unsur lagi yang menjadi variabel pelengkap interaksi tersebut, yaitu adanya pengguna lain (teman FB). Saat seseorang mendekati wilayah narsisme, boleh jadi itu adalah pengaruh yang ditularkan oleh teman FB.

Narsisme adalah perilaku cinta berlebihan terhadap diri sendiri. Istilah ini diambil dari nama seorang tokoh mitologi Yunani, yaitu Narcissus dan digunakan pertama kali oleh Sigmund Freud dalam studi psikologi. Paling tidak demikianlah pengertian narsisme yang dijelaskan oleh “bang Wikipedia”. Dalam tulisan lain, Isywara Mahendratto (tamanbintang@yahoogroups.com) mengatakan bahwa diantara tanda-tanda narsisme adalah:

  1. Merasa dirinya sangat penting dan ingin dikenal oleh orang lain
  2. Merasa bahwa dirinya unik dan istimewa
  3. Suka dipuji dan apabila perlu memuji diri sendiri
  4. Kecanduan dipotret atau di-shooting
  5. Suka berlama-lama di depan cermin
  6. Cenderung memamerkan apa yang dimilikinya, termasuk bagian tubuh pribadi

Dalam teori ERG Clayton Alderfer membagi kebutuhan manusia menjadi tiga tingkat, yaitu kebutuhan existence, kebutuhan relatedness, kebutuhan growth. Teori ini jelas tidak menafikan adanya hasrat seseorang untuk menunjukkan eksistensinya. Setiap orang memiliki kebutuhan untuk dihargai, dihormati, bahkan dipuji. Hal ini juga dikutkan oleh Abraham H. Maslow dalam teori hierarki piramida kebutuhan-nya yang terkenal. Tiga tingkat teratas dalam teorinya disebutkan secara berurut: kebutuhan sosial, kebutuhan status, dan aktualisasi diri.

Jika dikorelasikan dengan banyaknya ragam dan gaya foto yang di-upload seorang pengguna facebook, Maslow dan Clayton secara tidak langsung mengatakan bahwa itu adalah salah satu bentuk keinginan untuk memenuhi kebutuhan sosial, pengharapan status, dan bentuk aktualisasi diri. Di lain sisi, hal tersebut juga memiliki separuh identifikasi mengenai narcissist (narsis).

Sebuah pertanyaan yang mungkin bersarang di benak anda adalah apakah salah untuk menjadi narsis? Bukahkah setiap orang punya hak untuk menjadi narsis atau tidak narsis? Mengapa hal tersebut tiba-tiba penting untuk dibicarakan? Hak saya dong untuk menjadi narsis atau tidak!

Persepsi mengenai narsis tentu saja sangat beragam, apalagi dipandang dari sudut pemahaman individu-individu yang berbeda-beda. Tindakan dan sikap apapun tidak pernah menjadi masalah selama hal tersebut tidak merusak batas kenyamanan dan privasi orang lain. Apakah perilaku narsis itu salah? Selama hal tersebut tidak merugikan orang lain, tidak menyebabkan anda mengeksploitasi diri, tidak menjadikan anda paranoid dengan kelemahan dan kekurangan yang anda miliki, anda tahu jawabannya.#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular