Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)
Tampilkan postingan dengan label cermin hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cermin hati. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Maret 2015

Berbisnis Dengan Tuhan


Sumber Ilustrasi: http://wallpicshd.com
Ibarat pedagang, kita selalu tawar menawar dengan Tuhan tentang banyak hal. Pada banyak kesempatan, Tuhan seringkali mengalah. Bila tidak, kita terus merengek agar Ia mau mengalah saja. Seringkali, kita menganggapNya tak tahu apa-apa soal hasrat dan gairah manusia.

Sambil duduk di sebuah kedai kopi dengan buku yang hanya sempat terbaca beberapa lembar, aku memutuskan untuk menulis saja. Aneh, beberapa minggu ini komunikasiku dengan Tuhan seperti bermasalah. Mungkin Ia bosan dengan semua permintaan yang kusampaikan. Mungkin pula Ia jengah karena aku meminta terlalu banyak. Kadang, aku merasa bersalah karena hubunganku denganNya selalu transaksional.

Memang benar. Aku mulai menyadari hampir semua yang kulakukan untukNya selalu didasari kepentingan. Aku beribadah karena orang-orang mengatakan aku bisa masuk surga, sebuah tempat yang penuh kenikmatan dan dihuni bidadari-bidadari cantik nan mempesona. Aku berdoa, dan hampir semua isinya tentang keinginan dan permintaan. Habis mau apa lagi? Bukankah Tuhan telah memiliki segalanya? Lagi pula, banyak ayat mengatakan “mintalah padaKu, pasti Kuberi.” Aku rasa, Tuhan memiliki terlalu banyak hal sehingga boleh saja aku meminta apa saja.

Selasa, 30 Desember 2014

Tukang Pukul Kota Jakarta


Sumber Ilustrasi: http://makesmebelieveinnothing.blogspot.com
Jangan salah mengerti. Judul ini memang bercerita tentang tukang pukul, namun bukan seperti debt collector atau bodyguard yang biasa kita lihat di sinetron atau film.

Setiap hari, aku melewati jalan yang membelah Kuningan untuk menuju kantor tempatku bekerja. Dari Mampang, biasanya aku naik Kopaja P20 atau 620 dan turun di atas jembatan Casablanca. Katanya, terowongan yang tepat berada di bawah jembatan sempat menjadi inspirasi sebuah film horor Indonesia. Maklum, orang-orang mengatakan banyak hal aneh terjadi di tempat yang hanya berjarak sejengkal dengan TPU Menteng Pulo ini. Film berjudul Terowongan Casablanka yang disutradarai oleh Nanang Istiabudi dan dibintangi Asha Syara dan Ardina Rasti itu berdurasi sekitar 90 menit. Aku tidak suka film horor, jadi tak akan kuceritakan lebih lanjut. Dari jembatan, aku melanjutkan perjalanan ke kantor dengan angkot 44 dan berhenti tepat di depan Mal Kota Kasablanka (Kokas).

Suatu malam, jalanan dari arah Kokas menuju jembatan Casablanca disesaki oleh mobil dan motor. Padahal, biasanya rute ini tak pernah sepadat arah sebaliknya yang menuju Kampung Melayu. Aku pun memutuskan untuk berjalan kaki. Terakhir aku cek, jaraknya sekitar satu kilometer. Yah, lumayanlah untuk melemaskan kaki.

Rabu, 24 Desember 2014

Antara Cinta dan Dian Sastro


Sumber Ilustrasi: YouTube
Cinta. Betapa kata ini memiliki banyak makna. Ia hadir dalam hidup seseorang dengan caranya sendiri. Cukup sering ia muncul sambil mengendap-endap. Tak jarang pula ia datang tiba-tiba dan membuatmu sakit jantung. Makna cinta beragam tergantung jubah kebesaran yang ingin ia tunjukkan. Bagimu, cinta mungkin saja putih, dan bagi orang lain bisa saja merah. Tapi, bagiku Cinta adalah Dian Sastro! Yap, aku baru saja melihat kembali wajah jelita itu di YouTube gara-gara Line mengangkat Ada Apa Dengan Cinta (AADC) sebagai bagian strategi marketing-nya. “Ke mana aja lo? Telat dua bulan kali, baru nonton sekarang,” sergah seorang teman. 

Meskipun inspirasi tulisan ini adalah si cantik Dian Sastro yang telah merenggut masa kecilku (nanti akan kuceritakan soal yang satu ini), aku hanya ingin bercerita tentang cinta. Para ahli bahasa mendefinisikan cinta /cin·ta/ sebagai (1) suka sekali; sayang benar, (2) kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan), (3) ingin sekali; berharap sekali; rindu, dan (4) susah hati (khawatir); risau. Rasanya, pengertian keempat itulah yang justru lebih dominan dirasakan orang yang pintu rumahnya sedang diketuk cinta.

Minggu, 30 November 2014

Kebenaran Dua Sisi


(Sumber Ilustrasi: http://moudeomam.com)
Beberapa jam yang lalu aku berdebat dengan salah seorang teman. Gara-garanya, kami berbeda pendapat soal jalan yang paling benar dari Kemang menuju Mampang. Setahuku, ada jalan pintas yang paling cepat, yaitu dengan mengambil belokan sebelah kanan. Sementara itu, temanku yang bisa dibilang anak gaul Jakarta Selatan bersikukuh bahwa jalan yang kuanggap benar itu salah.

Perdebatan pun dimulai. Temanku membalik arah mobilnya menuju jalan yang aku tunjukkan. Sambil lalu, aku berusaha mencari history di aplikasi Waze yang sempat aku gunakan saat menyusuri jalan tersebut dulu. Aplikasi masih loading, temanku terus ngoceh mengatakan aku salah mengambil jalan.

Sabtu, 29 September 2012

Mintalah Sewajarnya


Terkadang kita merasa hidup berlaku tidak adil. Disaat kita merasa telah berusaha sekuat tenaga, hasil yang kita dapat tak sesuai harapan. Kadang kita mengeluh betapa hidup ini begitu berat tuk dijalani. Mungkin ada yang berpikir akan lebih baik jika hidupnya diakhiri. Benarkah seberat itu dunia ini tuk dijalani? Sekejam itukah nasib mempermainkan hidup seseorang?

Aku bertemu nenek ini secara tak sengaja. Hari Minggu itu ia lewat begitu saja di depanku yang sedang duduk santai bercengkerama dengan adik binaan. Tidak seperti orang pada umumnya, sang nenek berjalan sangat lambat seakan dunia disekitarnya terserap dalam sebuah slow-motion  film The Matrix. Tidak pernah sebelumnya aku menemukan seseorang berjalan selambat nenek itu.  
Maafin aku ya nek....

Seakan ada beban yang begitu berat harus dipikulnya tiap kali melangkah, satu per satu kakinya bergerak perlahan. Tak ia biarkan kaki di belakang bergerak sebelum ia yakin kaki yang di depan telah menapak mantap menahan tubuh ringkihnya. Dua kemungkinan, pikirku. Jika bukan beban yang ia gendong terlalu berat, maka tubuh rentanya yang begitu lemah untuk diajak bepergian. 

Sambil terus memperhatikan sang nenek yang keluar dari arah pemukiman warga, aku masih terus berbincang dengan adik di sampingku. Nampaknya ia tahu aku tertarik dengan kemunculan si nenek. Adik itu justru acuh tak acuh seakan hal itu menjadi pandangan yang ia lihat sehari-hari. Memang saat itu aku berada di lingkungan Jakarta yang tidak segemerlap tayangan sinetron atau sampul majalah turisme Kementerian Pariwisata. Ketika itu aku berada di lingkungan marginal ibukota. 

Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Mungkinkah ia tinggal sebatang kara? Apakah suami yang mungkin berusia lebih tua darinya telah meninggal dunia dan meninggalkannya seorang diri? Apakah ia tidak punya sanak saudara? Anak misalnya? Pun jika ada, apakah anak-anaknya saling lempar tanggung jawab untuk mengurusnya? Mungkinkah karena tidak ingin merepotkan nenek memilih hidup sendiri? Apakah bungkusan di punggungnya adalah jamu racikan atau gorengan pisang yang menjadi menumpukan hidup? Ah, aku tidak tahu.

Hampir lima menit berlalu, belum satu meter pun nenek itu lalui. Kau mungkin bertanya-tanya apa yang kemudian kulakukan. Apakah aku hanya memperhatikan saja tanpa berusaha melakukan sesuatu? Bukankah lebih baik membantu daripada sekedar melihatnya dari ujung mata? Apalagi jika sempat-sempatnya aku mengambil foto dan malah tidak memapahnya. Jika kau pembaca yang berpikiran positif, mungkin kau menyangka tentu saja aku tergerak membantu. Bila kau pembaca yang kritis, kau mungkin tidak percaya begitu saja dan masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya kulakukan? 

Popular