Terkadang kita merasa hidup berlaku tidak adil.
Disaat kita merasa telah berusaha sekuat tenaga, hasil yang kita dapat tak
sesuai harapan. Kadang kita mengeluh betapa hidup ini begitu berat tuk
dijalani. Mungkin ada yang berpikir akan lebih baik jika hidupnya diakhiri.
Benarkah seberat itu dunia ini tuk dijalani? Sekejam itukah nasib mempermainkan
hidup seseorang?
Aku bertemu nenek ini secara tak sengaja. Hari
Minggu itu ia lewat begitu saja di depanku yang sedang duduk santai
bercengkerama dengan adik binaan. Tidak seperti orang pada umumnya, sang nenek
berjalan sangat lambat seakan dunia disekitarnya terserap dalam sebuah slow-motion film
The Matrix. Tidak pernah sebelumnya aku menemukan seseorang berjalan selambat
nenek itu.
 |
Maafin aku ya nek.... |
Seakan ada beban yang begitu berat harus dipikulnya tiap kali melangkah, satu
per satu kakinya bergerak perlahan. Tak ia biarkan kaki di belakang bergerak
sebelum ia yakin kaki yang di depan telah menapak mantap menahan tubuh
ringkihnya. Dua kemungkinan, pikirku. Jika bukan beban yang ia gendong terlalu
berat, maka tubuh rentanya yang begitu lemah untuk diajak bepergian.
Sambil terus memperhatikan sang nenek yang
keluar dari arah pemukiman warga, aku masih terus berbincang dengan adik di
sampingku. Nampaknya ia tahu aku tertarik dengan kemunculan si nenek. Adik itu
justru acuh tak acuh seakan hal itu menjadi pandangan yang ia lihat
sehari-hari. Memang saat itu aku berada di lingkungan Jakarta yang tidak
segemerlap tayangan sinetron atau sampul majalah turisme Kementerian
Pariwisata. Ketika itu aku berada di lingkungan marginal ibukota.
Pikiranku mulai melayang kemana-mana. Mungkinkah ia tinggal sebatang kara?
Apakah suami yang mungkin berusia lebih tua darinya telah meninggal dunia dan
meninggalkannya seorang diri? Apakah ia tidak punya sanak saudara? Anak
misalnya? Pun jika ada, apakah anak-anaknya saling lempar tanggung jawab untuk
mengurusnya? Mungkinkah karena tidak ingin merepotkan nenek memilih hidup
sendiri? Apakah bungkusan di punggungnya adalah jamu racikan atau gorengan
pisang yang menjadi menumpukan hidup? Ah, aku tidak tahu.
Hampir lima menit berlalu, belum satu meter pun nenek itu lalui. Kau mungkin
bertanya-tanya apa yang kemudian kulakukan. Apakah aku hanya memperhatikan saja
tanpa berusaha melakukan sesuatu? Bukankah lebih baik membantu daripada sekedar
melihatnya dari ujung mata? Apalagi jika sempat-sempatnya aku mengambil foto
dan malah tidak memapahnya. Jika kau pembaca yang berpikiran positif, mungkin
kau menyangka tentu saja aku tergerak membantu. Bila kau pembaca yang kritis,
kau mungkin tidak percaya begitu saja dan masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya
kulakukan?