"Don't judge a book by its cover" sepertinya berlaku dalam hal ini. Kadang kita salah sangka, salah tafsir, salah paham, salah alamat, atau salah tangkap!
Seperti biasa, hari minggu kemarin aku berangkat dari tempat
kost menuju Stasiun Gambir, tempat aku melakukan aktivitas volunteer. Sebelum jarum
jam menunjuk angka tiga sore, aku mampir sejenak ke area parkir Stasiun Gambir
yang terletak di belakangnya. Selain berfungsi sebagai tempat parkir, area
belakang tersebut juga merupakan shelter bagi moda transportasi umum
lain seperti taksi, bajaj, dan bus Damri yang khusus melayani rute bandara
Soekarno-Hatta. Di tempat ini pula terdapat sebuah masjid yang menjadi pusat
aktivitas ibadah umat muslim di sekitar.
Keep Spirit Pak! |
Aku menanggalkan sandal untuk mencuci muka yang kusam setelah
hampir empat puluh menit perjalanan diatas bus Kopaja P20. Kadang aku gregetan
dengan aksi para supir angkutan ini. Ketika jalanan lengang, mereka biasanya
berleha-leha dan memacu bus sekenanya saja. Tidak peduli dengan para penumpang
yang gerah tersengat panas matahari Jakarta. Sekejap kemudian, mereka akan
mengebut kesetanan saat melihat ada bus Kopaja P20 lain di belakang. Jalanan
macet tidak lagi diperhatikan. Salip kanan, salip kiri, supir-supir itu tak
lagi peduli dengan para penumpang. Di jejeran kursi belakang, tidak jarang
pantat para penumpang terangkat dari kursi saat bus terganjal atau mengerem
dengan tiba-tiba. Sudahlah, sepertinya tak ada lagi yang dapat dilakukan dengan.
Lebih baik (dan sehat secara mental) untuk menganggap perjalanan ini sebagai
rekreasi di Dufan, dengan tarif lebih murah tentunya.
Tetesan air yang keluar dari mulut kran sangat menyegarkan. Tidak salah jika ia disebut sebagai sumber kehidupan. Setelah beberapa menit menitipkan wajah di bawah pancuran kran, aku menuju serambi masjid sambil duduk menikmati semilir angin yang berdesir perlahan. Tanpa kusadari, di depanku terdapat sosok seorang bapak yang sedang iseng menata tiga sikat semir sepatu menjadi sebuah segitiga. Tampaknya ia sedang iseng tidak ada pelanggan. Usianya paruh baya. Ia tampak sehat meski baju yang dipakainya agak lusuh. Disampingnya terletak sebuah gelas plastik transparan yang berisi kopi. Sebatang rokok menempel di bibirnya yang kehitaman. Terlintas pertanyaan dipikiranku, mengapa bapak ini memilih jadi tukang semir sepatu alih-alih profesi lain yang mungkin lebih menghasilkan? Ah…
Tetesan air yang keluar dari mulut kran sangat menyegarkan. Tidak salah jika ia disebut sebagai sumber kehidupan. Setelah beberapa menit menitipkan wajah di bawah pancuran kran, aku menuju serambi masjid sambil duduk menikmati semilir angin yang berdesir perlahan. Tanpa kusadari, di depanku terdapat sosok seorang bapak yang sedang iseng menata tiga sikat semir sepatu menjadi sebuah segitiga. Tampaknya ia sedang iseng tidak ada pelanggan. Usianya paruh baya. Ia tampak sehat meski baju yang dipakainya agak lusuh. Disampingnya terletak sebuah gelas plastik transparan yang berisi kopi. Sebatang rokok menempel di bibirnya yang kehitaman. Terlintas pertanyaan dipikiranku, mengapa bapak ini memilih jadi tukang semir sepatu alih-alih profesi lain yang mungkin lebih menghasilkan? Ah…
Aku mengalihkan pandangan. Di kejauhan terlihat
seorang ibu muda yang menuju masjid sambil menggandeng seorang anak kecil. Dari
pakaiannya aku langsung tahu ia bukanlah penumpang kereta api ataupun bus Damri.
Ia adalah satu dari sekian banyak kaum papa kota Jakarta. Usianya masih cukup
muda, kira-kira tiga puluh tahunan. Tiba-tiba ia duduk di samping bapak tukang
semir. Sambil meluruskan kaki, ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong
plastik yang dibawanya. Itu adalah sebungkus nasi. Ia membuka bukusan itu dan meletakkan
diantara dirinya dan bapak tukang semir sepatu semetara anak kecil yang
dibawanya berputar-putar dengan mainannya. Aha, aku baru sadar bahwa mereka
terlihat seperti keluarga. Yah, aku yakin itu.
Sejenak kemudian adzan Ashar berkumandang. Suasana
masjid mulai semarak dengan suara cipratan air, gemeletak sandal, gedebuk pintu
kotak penyimpanan sepatu, hingga suara kelelahan dari orang-orang yang
terbangun dari istirahat siangnya. Entah mereka tertidur atau memang menidurkan
diri. Tapi memang, suasana Masjid biasanya sejuk dan mengajak wajah-wajah lelah
untuk merebahkan badan.
Saat shalat akan laksanakan, aku segera mengambil
tempat tepat di samping pintu keluar. Selain akses keluar yang mudah, posisi
ini memberikan angin segar yang lebih banyak dari yang lain. Namun aku terkejut
dengan adanya sosok yang merangsek ke tempatku berdiri. Oh, ternyata seorang
bapak dengan kaki yang tidak sempurna lagi. Sepertinya ia akan shalat duduk. Aku
kembali meluruskan pandangan dan mulai beribadah.
Setelah selasai, para jamaah saling bersalaman. Belum
sempat aku menyalaminya, orang yang tadi shalat duduk telah keluar dari barisan
melalui arah belakangku. Aku tersenyum sambil membayangkan cerita yang dulu
guruku sering bawakan. Sebuah cerita mengenai orang yang tidak pernah sempat
berdzikir karena hanya punya satu baju. Ia segera pulang karena harus
bergantian dengan istrinya yang telah menunggu giliran. Begitulah, setiap kali
selesai shalat ia diceritakan langsung pulang untuk memberikan baju yang ia
kenakan kepada istrinya yang juga ingin menunaikan ibadah. Kisah selanjutnya, ia
dikaruniai rejeki dan harta berlimpah. Namun ia tetap tidak dapat berdzikir
walau sebentar lalu langsung keluar masjid. Kali ini tidak untuk berbagi
pakaian dengan sang istri, namun ia sibuk mengurusi bisnis hingga membuatnya lalai.
Prihatin, aku berpaling untuk melihat sosok yang keluar
sambil menyeret kakinya itu. Di undakan tangga, ia mengambil dua bilah tongkat
yang ia simpan. Aku tersentak. Baju yang ia kenakan itu mirip sekali dengan
baju yang dikenakan bapak tukang semir yang kulihat di depan masjid. Benar saja,
dengan bantuan tongkat itu ia berjalan menuju tempat semir sepatu yang sedang
kosong.
Kadang kita mudah sekali menghakimi orang. Padahal kita
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita melihat kesuksesan orang lain
sebagai sebuah keberuntungan, padahal kita tidak pernah tahu bahwa ia belajar
siang dan malam untuk mencapai mimpinya. Pun kadang kira melihat kesuksesan
yang kira raih sebagai kebetulan. Kita hanya tidak merasa bahwa kita telah mempersiapkan
hal itu sejak dulu kala, sejak giat belajar karena dimarahi orang tua. Sebaliknya,
kita mudah untuk mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami seseorang adalah
akibat kemalasannya berusaha atau belajar. Mungkin itu ada benarnya. Lalu bagaimana
dengan orang yang sudah berusaha dengan keras namun belum mencapai
keinginannya? Bisa jadi ada faktor lain seperti tidak lengkapnya anggota tubuh
yang tidak kita ketahui. Pun bisa jadi itu cobaan dari Allah SWT untuk melihat
ketaqwaan hambanya. Bukan karena Ia kejam, justru karena Ia sayang.
Dalam benakku aku berpikir, apa yang dilakukan oleh
bapak itu adalah bentuk lain dari dzikir. Mencari nafkah juga merupakan dzikir,
apalagi dengan kondisi yang tidak sempurna seperti yang dialaminya. Aku salut
dengan semangat dan kegigihannya. Kondisi fisik tidak menjadi alasan untuk bermalasan,
apalagi untuk berputus asa. Selama masih ada nafas, disana selalu ada harapan. Syukurilah
setiap detik yang kita lewati dan setiap helai nafas yang kita hirup, karena
kebahagiaan itu dekat!
kebahagiaan itu sangat dekat kawan! sungguh...!
BalasHapusKeren sob
BalasHapuswww.kiostiket.com