Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Senin, 22 Oktober 2012

KEBAHAGIAAN ITU DEKAT!

"Don't judge a book by its cover" sepertinya berlaku dalam hal ini. Kadang kita salah sangka, salah tafsir, salah paham, salah alamat, atau salah tangkap!


Keep Spirit Pak!
Seperti biasa, hari minggu kemarin aku berangkat dari tempat kost menuju Stasiun Gambir, tempat aku melakukan aktivitas volunteer. Sebelum jarum jam menunjuk angka tiga sore, aku mampir sejenak ke area parkir Stasiun Gambir yang terletak di belakangnya. Selain berfungsi sebagai tempat parkir, area belakang tersebut juga merupakan shelter bagi moda transportasi umum lain seperti taksi, bajaj, dan bus Damri yang khusus melayani rute bandara Soekarno-Hatta. Di tempat ini pula terdapat sebuah masjid yang menjadi pusat aktivitas ibadah umat muslim di sekitar.
Aku menanggalkan sandal untuk mencuci muka yang kusam setelah hampir empat puluh menit perjalanan diatas bus Kopaja P20. Kadang aku gregetan dengan aksi para supir angkutan ini. Ketika jalanan lengang, mereka biasanya berleha-leha dan memacu bus sekenanya saja. Tidak peduli dengan para penumpang yang gerah tersengat panas matahari Jakarta. Sekejap kemudian, mereka akan mengebut kesetanan saat melihat ada bus Kopaja P20 lain di belakang. Jalanan macet tidak lagi diperhatikan. Salip kanan, salip kiri, supir-supir itu tak lagi peduli dengan para penumpang. Di jejeran kursi belakang, tidak jarang pantat para penumpang terangkat dari kursi saat bus terganjal atau mengerem dengan tiba-tiba. Sudahlah, sepertinya tak ada lagi yang dapat dilakukan dengan. Lebih baik (dan sehat secara mental) untuk menganggap perjalanan ini sebagai rekreasi di Dufan, dengan tarif lebih murah tentunya.

Tetesan air yang keluar dari mulut kran sangat menyegarkan. Tidak salah jika ia disebut sebagai sumber kehidupan. Setelah beberapa menit menitipkan wajah di bawah pancuran kran, aku menuju serambi masjid sambil duduk menikmati semilir angin yang berdesir perlahan. Tanpa kusadari, di depanku terdapat sosok seorang bapak yang sedang iseng menata tiga sikat semir sepatu menjadi sebuah segitiga. Tampaknya ia sedang iseng tidak ada pelanggan. Usianya paruh baya. Ia tampak sehat meski baju yang dipakainya agak lusuh. Disampingnya terletak sebuah gelas plastik transparan yang berisi kopi. Sebatang rokok menempel di bibirnya yang kehitaman. Terlintas pertanyaan dipikiranku, mengapa bapak ini memilih jadi tukang semir sepatu alih-alih profesi lain yang mungkin lebih menghasilkan? Ah…
Aku mengalihkan pandangan. Di kejauhan terlihat seorang ibu muda yang menuju masjid sambil menggandeng seorang anak kecil. Dari pakaiannya aku langsung tahu ia bukanlah penumpang kereta api ataupun bus Damri. Ia adalah satu dari sekian banyak kaum papa kota Jakarta. Usianya masih cukup muda, kira-kira tiga puluh tahunan. Tiba-tiba ia duduk di samping bapak tukang semir. Sambil meluruskan kaki, ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari kantong plastik yang dibawanya. Itu adalah sebungkus nasi. Ia membuka bukusan itu dan meletakkan diantara dirinya dan bapak tukang semir sepatu semetara anak kecil yang dibawanya berputar-putar dengan mainannya. Aha, aku baru sadar bahwa mereka terlihat seperti keluarga. Yah, aku yakin itu.
Sejenak kemudian adzan Ashar berkumandang. Suasana masjid mulai semarak dengan suara cipratan air, gemeletak sandal, gedebuk pintu kotak penyimpanan sepatu, hingga suara kelelahan dari orang-orang yang terbangun dari istirahat siangnya. Entah mereka tertidur atau memang menidurkan diri. Tapi memang, suasana Masjid biasanya sejuk dan mengajak wajah-wajah lelah untuk merebahkan badan.
Saat shalat akan laksanakan, aku segera mengambil tempat tepat di samping pintu keluar. Selain akses keluar yang mudah, posisi ini memberikan angin segar yang lebih banyak dari yang lain. Namun aku terkejut dengan adanya sosok yang merangsek ke tempatku berdiri. Oh, ternyata seorang bapak dengan kaki yang tidak sempurna lagi. Sepertinya ia akan shalat duduk. Aku kembali meluruskan pandangan dan mulai beribadah.
Setelah selasai, para jamaah saling bersalaman. Belum sempat aku menyalaminya, orang yang tadi shalat duduk telah keluar dari barisan melalui arah belakangku. Aku tersenyum sambil membayangkan cerita yang dulu guruku sering bawakan. Sebuah cerita mengenai orang yang tidak pernah sempat berdzikir karena hanya punya satu baju. Ia segera pulang karena harus bergantian dengan istrinya yang telah menunggu giliran. Begitulah, setiap kali selesai shalat ia diceritakan langsung pulang untuk memberikan baju yang ia kenakan kepada istrinya yang juga ingin menunaikan ibadah. Kisah selanjutnya, ia dikaruniai rejeki dan harta berlimpah. Namun ia tetap tidak dapat berdzikir walau sebentar lalu langsung keluar masjid. Kali ini tidak untuk berbagi pakaian dengan sang istri, namun ia sibuk mengurusi bisnis hingga membuatnya lalai.
Prihatin, aku berpaling untuk melihat sosok yang keluar sambil menyeret kakinya itu. Di undakan tangga, ia mengambil dua bilah tongkat yang ia simpan. Aku tersentak. Baju yang ia kenakan itu mirip sekali dengan baju yang dikenakan bapak tukang semir yang kulihat di depan masjid. Benar saja, dengan bantuan tongkat itu ia berjalan menuju tempat semir sepatu yang sedang kosong.
Kadang kita mudah sekali menghakimi orang. Padahal kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita melihat kesuksesan orang lain sebagai sebuah keberuntungan, padahal kita tidak pernah tahu bahwa ia belajar siang dan malam untuk mencapai mimpinya. Pun kadang kira melihat kesuksesan yang kira raih sebagai kebetulan. Kita hanya tidak merasa bahwa kita telah mempersiapkan hal itu sejak dulu kala, sejak giat belajar karena dimarahi orang tua. Sebaliknya, kita mudah untuk mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami seseorang adalah akibat kemalasannya berusaha atau belajar. Mungkin itu ada benarnya. Lalu bagaimana dengan orang yang sudah berusaha dengan keras namun belum mencapai keinginannya? Bisa jadi ada faktor lain seperti tidak lengkapnya anggota tubuh yang tidak kita ketahui. Pun bisa jadi itu cobaan dari Allah SWT untuk melihat ketaqwaan hambanya. Bukan karena Ia kejam, justru karena Ia sayang.
Dalam benakku aku berpikir, apa yang dilakukan oleh bapak itu adalah bentuk lain dari dzikir. Mencari nafkah juga merupakan dzikir, apalagi dengan kondisi yang tidak sempurna seperti yang dialaminya. Aku salut dengan semangat dan kegigihannya. Kondisi fisik tidak menjadi alasan untuk bermalasan, apalagi untuk berputus asa. Selama masih ada nafas, disana selalu ada harapan. Syukurilah setiap detik yang kita lewati dan setiap helai nafas yang kita hirup, karena kebahagiaan itu dekat!

2 komentar:

Popular