Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Selasa, 11 Maret 2014

Kisah Pemuda Urban

Sumber Ilustrasi: http://mhau-photography.blogspot.com

Saat jam menunjukkan pukul 5:30 WIB, Sang Pemuda langsung berkemas untuk pulang kantor. Tak seperti biasanya, hari ini ia ingin pulang tepat waktu.

Sayangnya, Jumat sore memang tak pernah menjadi waktu pulang kerja yang mengenakkan. Kemacetan kota Jakarta relatif lebih parah menjelang akhir pekan, terutama di kawasan seperti Kuningan dan Mampang yang menjadi rute keseharian Sang Pemuda.

Sampai di depan gedung Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, bus yang ditumpangi Sang Pemuda benar-benar tak bisa bergerak. Antrian panjang mobil dan motor mengular tak karuan. Selain harus berdiri, Sang Pemuda harus berhimpitan dengan banyak orang yang penuh sesak memadati bus. Keringat mulai mengalir dari dahi, leher, dan ketiaknya. Gerah.

Untungnya, cahaya senja cukup indah memikat. Lukisan langit dengan matahari yang akan tenggelam bagi Sang Pemuda selalu memiliki aura magis. Bagai magnet, nuansa sore itu menarik pandangan Sang Pemuda hingga membuat matanya tak berkedip. Sebuah momen yang terlalu berharga untuk dilewatkan.


Ting! Sebuah ide muncul tiba--tiba. Sang Pemuda bergerak untuk melepaskan diri dari orang-orang di sekelilingnya. Seakan membelah batang pohon besar dengan kapak, berkali-kali Sang Pemuda mengucap maaf sambil "berenang" menuju pintu bus. Ia harus keluar. "Sore ini tak mungkin lebih baik dari berjalan kaki sambil menikmati langit sore," gumam Sang Pemuda.

Sekeluar dari bus, raungan mesin sepeda motor yang ditimpa deru knalpot mobil semakin memekakkan telinga. Tak apa, toh hal itu menjadi pengalaman tiap hari yang harus dilalui Sang Pemuda. Dengan gontai Ia berjalan di sisi trotoar sambil lalu melompat rendah menghindari lubang-lubang di sepajang pedestrian.

Sesekali Sang Pemuda melirik ke arah jalanan. Ia merasa agak beruntung karena dirinya bebas bergerak dibanding para pengendara yang terjebak kemacetan. Dalam pandangannya, mereka bagai bidak-bidak catur yang tak berdaya di tangan pemain yang bingung tak tahu mau langkah ke mana.

Kondisi serupa juga dialami puluhan orang yang berjubel di atas bus, neraka kecil yang baru Ia tinggalkan. Bila barisan ikan pindang di dalam kotak bambu masih teratur, orang-orang itu sudah tak bisa lagi mengangkat kaki yang kesemutan karena terlalu lama berdiri. Tak muda tak tua, tak juga pria maupun wanita. Semuanya hanya ingin cepat kembali ke rumah yang hanya berputar-putar di dunia imajiner.

Tepat di perempatan jalan Rasuna Said dan Gatot Subroto, Sang Pemuda mengambil arah ke kiri. Sambil menyumbat telinganya dengan headset, lamat-lamat suara James Blunt mulai terdengar. I would call you up/every Saturday night/and we both stayed up/ till the morning light/ and we sang/ here we go again.

Saat melintas di seberang halte busway Kuningan Timur, pandangan Sang Pemuda terantuk pada barisan orang yang mengantri menunggu bus TransJakarta, mengantar mereka ke arah Cawang dan sekitarnya. Sayangnya, tak jarang mereka harus berkali-kali kecewa karena bus yang datang telah sesak penuh penumpang.

Sang Pemuda terus berjalan. Di sepanjang jalan, ia berpapasan dengan orang-orang yang memilih untuk berjalan kaki dan menikmati suasana sore itu. Di sepanjang jalan itu pula, hidungnya mencium aroma masakan para pedangang kaki lima. Dari aroma cabai nasi goreng yang pedas hingga uap siomay dan batagor manambah nikmat suasana sore itu. Dalam hati, Sang Pemuda bergumam, "Hidup hanya perlu dinikmati!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular