(Sumber Ilustrasi: http://moudeomam.com) |
Beberapa jam yang lalu aku berdebat dengan salah
seorang teman. Gara-garanya, kami berbeda pendapat soal jalan yang paling benar
dari Kemang menuju Mampang. Setahuku, ada jalan pintas yang paling cepat, yaitu
dengan mengambil belokan sebelah kanan. Sementara itu, temanku yang bisa
dibilang anak gaul Jakarta Selatan bersikukuh bahwa jalan yang kuanggap benar
itu salah.
Perdebatan pun dimulai. Temanku membalik arah
mobilnya menuju jalan yang aku tunjukkan. Sambil lalu, aku berusaha mencari history di aplikasi Waze yang sempat aku
gunakan saat menyusuri jalan tersebut dulu. Aplikasi masih loading, temanku terus ngoceh
mengatakan aku salah mengambil jalan.
Benar saja, jalan pintas yang aku tunjukkan ternyata
adalah jalan buntu. Kami kembali ke jalan yang semula diambil oleh temanku itu.
Aplikasi Waze diponselku masih loading. Maklum,
akhir bulan pulsanya sudah sekarat. Aku masih berusaha meyakinkan dirinya (dan diriku
juga sebenarnya) bahwa jalan tadi itu adalah jalan pintas yang benar. Saat kami
muncul di jalan Mampang, aplikasi yang berbasis GPS itupun redirecting. Aku kehilangan arah.
Saking sengitnya beradu argumen, temanku kembali berbelok
ke arah Kemang untuk menelusuri jalan yang tadi aku tunjukkan. Saat berada di
posisi kami semula, aplikasiku menunjukkan ternyata ada dua jalan yang
bersebelahan. Aku menyadari jalan pintas yang aku lewati dahulu itu adalah
jalan di sebelahnya. Merasa di atas angin, temanku mengatakan diriku salah dan
tak mau mengaku. Aku pun bertahan dan membela diri. Perdebatan kami kini
beralih pada pengakuan salah dan benar.
Menurutnya, aku keras kepala dan tak mau mengaku
salah. Aku bersikeras bahwa saat awal menunjukkan jalan pintas, aku sama sekali
tidak salah. Ia mencecarku sedang mencari pembenaran. Lah, pembenaran apa yang perlu dicari wong sudah benar. Lalu apa yang terjadi? Sepanjang perjalanan
pulang kami terus berdebat, haha.
Orang
Dengan Satu Pengetahuan Selalu Benar
Saat berbicara kebenaran, perlu diakui sering kali kita
egois. Orang lain selalu salah dan kita selalu benar, meskipun dalam konteks sebenarnya
kitalah yang benar. Meskipun orang lain di mata kita salah, tak pernahkah kita
berpikir makna kebenaran dari sudut pandangnya? Bukankah orang yang hanya
memiliki satu pengetahuan saja tak bisa disalahkan karena tidak tahu
pengetahuan yang lainnya?
Bingung? Anggaplah ada orang bernama si A. Setiap
hari sejak ia dilahirkan, si A hanya tahu kata belewah untuk menyebutkan nama satu buah tertentu. Sementara itu,
tetangga si A tahu bahwa buah tersebut biasa disebut orang dengan kata blewah. Tetangga itu pun datang dan
mengatakan bahwa si A salah. Si A tentu tidak mau disalahkan karena hanya kata
itulah yang ia tahu.
Anggaplah si A benar-benar salah, namun kesalahan
tersebut “baru” berwujud kesalahan di mata si tetangga. Ia tidak bisa memaksa
si A mengaku salah karena memang kata itulah satu-satunya pengetahuan yang
dimiliki si A. Situasinya akan berbeda bila si A sudah tahu ada beberapa kata
yang biasa digunakan orang untuk menyebut buah tersebut dan kata yang ia pilih ternyata
salah.
Kembali ke perdebatan dengan temanku soal jalan
pintas dari Kemang menuju Mampang, aku bisa dibilang sedang melewati dua fase. Fase
pertama, pada permulaannya aku hanya punya satu keyakinan bahwa jalan yang aku
tunjukkan itulah yang benar. Jadi, bila aku ngeyel
tidak mau mengaku salah, mestinya itu bisa dimaklumi karena posisiku (dengan
keterbatasan pengetahuan) saat itu memang tak bisa disalahkan. Fase kedua, saat
temanku berputar kembali dan aplikasi Wazeku mulai berfungsi, aku menyadari aku
salah dan pada fase inilah aku bisa mengaku salah atau disalahkan.
Mungkin ini adalah cerita sepele. Namun rasa-rasanya penting juga untuk dibahas (temanku
masih menganggap aku tak mau kalah, hehe). Tapi begitulah, kadang kita
memaksakan kebenaran versi pribadi tanpa mau tahu situasi orang yang kita
anggap salah.
Contoh ini pun sebenarnya bisa kita temui di banyak
hal. Mulai dari kepercayaan, kebiasaan, hingga perilaku orang lain yang mungkin
kita anggap salah, padahal kita tak pernah tahu apakah mereka mengetahui ada
cara-cara lain untuk menyebutkan atau melakukan hal yang sama. Alangkah baiknya
bila kita saling berbagi tentang banyak hal dengan sebanyak-banyaknya orang. Setidaknya,
kita bisa membantu orang lain menyadari dirinya sedang salah, atau membuat
mereka menyelamatkan kita dari kesalahan. Selamat berakhir pekan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar