Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Minggu, 30 November 2014

Kebenaran Dua Sisi


(Sumber Ilustrasi: http://moudeomam.com)
Beberapa jam yang lalu aku berdebat dengan salah seorang teman. Gara-garanya, kami berbeda pendapat soal jalan yang paling benar dari Kemang menuju Mampang. Setahuku, ada jalan pintas yang paling cepat, yaitu dengan mengambil belokan sebelah kanan. Sementara itu, temanku yang bisa dibilang anak gaul Jakarta Selatan bersikukuh bahwa jalan yang kuanggap benar itu salah.

Perdebatan pun dimulai. Temanku membalik arah mobilnya menuju jalan yang aku tunjukkan. Sambil lalu, aku berusaha mencari history di aplikasi Waze yang sempat aku gunakan saat menyusuri jalan tersebut dulu. Aplikasi masih loading, temanku terus ngoceh mengatakan aku salah mengambil jalan.

Benar saja, jalan pintas yang aku tunjukkan ternyata adalah jalan buntu. Kami kembali ke jalan yang semula diambil oleh temanku itu. Aplikasi Waze diponselku masih loading. Maklum, akhir bulan pulsanya sudah sekarat. Aku masih berusaha meyakinkan dirinya (dan diriku juga sebenarnya) bahwa jalan tadi itu adalah jalan pintas yang benar. Saat kami muncul di jalan Mampang, aplikasi yang berbasis GPS itupun redirecting. Aku kehilangan arah.

Saking sengitnya beradu argumen, temanku kembali berbelok ke arah Kemang untuk menelusuri jalan yang tadi aku tunjukkan. Saat berada di posisi kami semula, aplikasiku menunjukkan ternyata ada dua jalan yang bersebelahan. Aku menyadari jalan pintas yang aku lewati dahulu itu adalah jalan di sebelahnya. Merasa di atas angin, temanku mengatakan diriku salah dan tak mau mengaku. Aku pun bertahan dan membela diri. Perdebatan kami kini beralih pada pengakuan salah dan benar.

Menurutnya, aku keras kepala dan tak mau mengaku salah. Aku bersikeras bahwa saat awal menunjukkan jalan pintas, aku sama sekali tidak salah. Ia mencecarku sedang mencari pembenaran. Lah, pembenaran apa yang perlu dicari wong sudah benar. Lalu apa yang terjadi? Sepanjang perjalanan pulang kami terus berdebat, haha.

Orang Dengan Satu Pengetahuan Selalu Benar

Saat berbicara kebenaran, perlu diakui sering kali kita egois. Orang lain selalu salah dan kita selalu benar, meskipun dalam konteks sebenarnya kitalah yang benar. Meskipun orang lain di mata kita salah, tak pernahkah kita berpikir makna kebenaran dari sudut pandangnya? Bukankah orang yang hanya memiliki satu pengetahuan saja tak bisa disalahkan karena tidak tahu pengetahuan yang lainnya?
Bingung? Anggaplah ada orang bernama si A. Setiap hari sejak ia dilahirkan, si A hanya tahu kata belewah untuk menyebutkan nama satu buah tertentu. Sementara itu, tetangga si A tahu bahwa buah tersebut biasa disebut orang dengan kata blewah. Tetangga itu pun datang dan mengatakan bahwa si A salah. Si A tentu tidak mau disalahkan karena hanya kata itulah yang ia tahu.

Anggaplah si A benar-benar salah, namun kesalahan tersebut “baru” berwujud kesalahan di mata si tetangga. Ia tidak bisa memaksa si A mengaku salah karena memang kata itulah satu-satunya pengetahuan yang dimiliki si A. Situasinya akan berbeda bila si A sudah tahu ada beberapa kata yang biasa digunakan orang untuk menyebut buah tersebut dan kata yang ia pilih ternyata salah.

Kembali ke perdebatan dengan temanku soal jalan pintas dari Kemang menuju Mampang, aku bisa dibilang sedang melewati dua fase. Fase pertama, pada permulaannya aku hanya punya satu keyakinan bahwa jalan yang aku tunjukkan itulah yang benar. Jadi, bila aku ngeyel tidak mau mengaku salah, mestinya itu bisa dimaklumi karena posisiku (dengan keterbatasan pengetahuan) saat itu memang tak bisa disalahkan. Fase kedua, saat temanku berputar kembali dan aplikasi Wazeku mulai berfungsi, aku menyadari aku salah dan pada fase inilah aku bisa mengaku salah atau disalahkan.

Mungkin ini adalah cerita sepele. Namun rasa-rasanya penting juga untuk dibahas (temanku masih menganggap aku tak mau kalah, hehe). Tapi begitulah, kadang kita memaksakan kebenaran versi pribadi tanpa mau tahu situasi orang yang kita anggap salah. 

Contoh ini pun sebenarnya bisa kita temui di banyak hal. Mulai dari kepercayaan, kebiasaan, hingga perilaku orang lain yang mungkin kita anggap salah, padahal kita tak pernah tahu apakah mereka mengetahui ada cara-cara lain untuk menyebutkan atau melakukan hal yang sama. Alangkah baiknya bila kita saling berbagi tentang banyak hal dengan sebanyak-banyaknya orang. Setidaknya, kita bisa membantu orang lain menyadari dirinya sedang salah, atau membuat mereka menyelamatkan kita dari kesalahan. Selamat berakhir pekan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular