Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Selasa, 30 Desember 2014

Tukang Pukul Kota Jakarta


Sumber Ilustrasi: http://makesmebelieveinnothing.blogspot.com
Jangan salah mengerti. Judul ini memang bercerita tentang tukang pukul, namun bukan seperti debt collector atau bodyguard yang biasa kita lihat di sinetron atau film.

Setiap hari, aku melewati jalan yang membelah Kuningan untuk menuju kantor tempatku bekerja. Dari Mampang, biasanya aku naik Kopaja P20 atau 620 dan turun di atas jembatan Casablanca. Katanya, terowongan yang tepat berada di bawah jembatan sempat menjadi inspirasi sebuah film horor Indonesia. Maklum, orang-orang mengatakan banyak hal aneh terjadi di tempat yang hanya berjarak sejengkal dengan TPU Menteng Pulo ini. Film berjudul Terowongan Casablanka yang disutradarai oleh Nanang Istiabudi dan dibintangi Asha Syara dan Ardina Rasti itu berdurasi sekitar 90 menit. Aku tidak suka film horor, jadi tak akan kuceritakan lebih lanjut. Dari jembatan, aku melanjutkan perjalanan ke kantor dengan angkot 44 dan berhenti tepat di depan Mal Kota Kasablanka (Kokas).

Suatu malam, jalanan dari arah Kokas menuju jembatan Casablanca disesaki oleh mobil dan motor. Padahal, biasanya rute ini tak pernah sepadat arah sebaliknya yang menuju Kampung Melayu. Aku pun memutuskan untuk berjalan kaki. Terakhir aku cek, jaraknya sekitar satu kilometer. Yah, lumayanlah untuk melemaskan kaki.

Sambil melangkah gotai, aku menyadari bahwa di samping-samping jalan telah berdiri beberapa gubuk. Beberapa orang bersarung terlihat terlentang di dalamnya dan beberapa lainnya duduk-duduk di depan. Trotoar hancur dan penuh lobang yang biasa aku saksikan kini menjadi tumpukan tanah di satu sisi jalan dan batu-batu paving telah dicongkel dan ditumpuk menjadi satu. “Akhirnya, pemerintah mulai peduli dengan nasib pejalan kaki yang selalu tersandung dan diserempet pengendara tak tahu diri,” batinku dalam hati.

Lalu apa yang menarik dari perbaikan trotoar ini? Dan, apa hubungannya dengan tukang pukul? Sambil berjalan, mataku terantuk pada sosok seseorang di kejauhan. Dari sela-sela kupingku yang tersumbat headset dan lamat-lamat lagu U2 yang kuunduh gratis dari iTunes, aku mendengar bunyi dentingan yang semakin lama semakin kencang. Kini aku mengenali sosok itu. Dengan helm kuning yang dipasang sekenanya di kepala, aku langsung mengenalinya sebagai pekerja proyek. Sepatu bot hitam lusuh, kaos tanpa lengan dengan ujung-ujungnya yang agak tergulung, dan celana butut penuh debu adalah tiga busana lain yang membukus tubuh pria umur 35-40 tahunan itu.

Dari tempatku berjalan, pria ini begitu menyatu dengan warna malam. Bisa jadi, kau tak akan bisa melihatnya bila tanpa helm kuning yang bertengger di atas tubuhnya. Semakin dekat, aku makin bisa melihatnya sosok itu begitu kokoh bagai tembok. Urat-uratnya menyembul keluar dan otot bisepnya mirip binaragawan yang menghabiskan berjam-jam waktu di tempat gym. Bedanya, yang ini hanya bisa melihat onggokan tanah sementara yang lain bisa bercengkerama dengan perempuan dan tante-tante seksi berbalut busana minim.

Suara dentingan yang sedari tadi kudengar semakin memekakkan telinga. Ternyata, suara itu berasal dari dentuman palu besar yang berada di tangan pria itu. Ia sedang berusaha menghancurkan sebuah tempat duduk beton agar paving-paving baru bisa dipasang. Dari panjang tempat duduk yang sekitar tiga meter dan tinggi selutut, pria itu baru menyelesaikan kurang dari sepertiganya. Urat-urat kawat terlihat menyembul dari ujung yang telah ia hancurkan. Aku membatin, betapa pekerjaan ini begitu mudah dilakukan bila ada alat berat yang bisa dipakai. Mungkin, sang kontraktor tak punya bujet yang cukup. Atau, biarlah sang pekerja yang menyelesaikan, toh ia dapat jaminan asuransi yang bisa jadi tak ia mengerti cara menggunakannya.

Pekerja lain sedang membereskan hasil kerja bapak yang kulihat malam sebelumnya
Tukang pukul batu, itulah kata pertama yang muncul di benakku. Aku menolehkan pandanganku ke arah gedung-gedung tinggi yang berada di seberang jalan, The Park Lane Hotel, Puri Casablanca, dan Taman Rasuna. Betapa kota metropolitan ini dibangun oleh tangan-tangan “kecil” yang baru kusaksikan. Realitas ini mungkin bukan hal baru. Semua orang tahu gedung-gedung mewah dan tinggi dibangun oleh para buruh dan kelas pekerja. Saking umumnya pengetahuan ini, mungkin tak sedikit pula yang merasa kurang penting untuk dibahas. Tapi, entah bagaimana pemandangan yang baru kulihat tadi justru berhasil memantik energi di salah satu saraf di otakku yang kemudian berkelindan dengan saraf yang lain. Tak sadar, bayangan Cleopatra dan Firaun malah berkelebat membentuk lorong waktu.

Yup, tak ada satu pun masterpiece dunia yang berhasil tegak tanpa peluh dan kerja keras kaum buruh. Bila kau arsitek, bisakah kau bangun Taj Mahal tanpa bantuan sekian ratus ribu pekerja? Bahkan bila kau seorang Soekarno, bisakah kau bangun Stadion GBK, Masjid Istiqlal, dan Monas tanpa bantuan para tukang pukul batu? Konon, pembangunan Piramida di Mesir telah berlangsung sejak 2670 hingga 664 Sebelum Masehi. Untuk mengerjakan piramida Giza yang paling besar dan terkenal, katanya dibutuhkan 2,3 juta balok batu dengan berat masing-masing 2,5 ton dan 20 tahun masa pengerjaan. Soal para pekerja, Herodotus menulis tak kurang dari 100 ribu orang budak yang terlibat. Namun, pendapat lain menyebutkan hanya sekitar 20 ribu orang yang dipekerjakan.

Iseng saja, aku kadang bertanya berapa besar uang yang didapat para “tenaga kasar” (yang dengan kekasarannya telah membuat sebagian orang yang lain bekerja “halus”) ini mendapat upah. Bila sampai kisaran Rp 3 juta yang berarti lebih tinggi dari UMR Jakarta, mungkin saja orang-orang ini bangga karena bisa mendapat penghasilan lebih tinggi dari kebanyakan orang di kampungnya. Pun saat pulang kampung, mereka akan disambut dengan senyum sumringah sang istri yang juga bangga karena suaminya bekerja di kota. Bagi sebagian masyarakat, lokasi mata pencaharian suami dapat meningkatkan status sosialnya di mata orang lain. Padahal, ia tak tahu sang suami harus bekerja sampai malam dan kadang mengobati sakit maag dengan mengoleskan balsam sebanyak-banyaknya ke bagian perut karena dikira kram.

Bandingkan dengan sebagian orang lain yang dengan pengetahuannya bisa kita sebut “mujur.” Anggaplah, orang ini memiliki uang Rp 100 juta yang ia tempatkan di tabungan deposito dengan tingkat bunga 7% per tahun. Tanpa perlu memikul palu besar yang harus ia hantamkan sekeras mungkin ke atas tempat duduk beton, ia bisa menghasilkan Rp 7 juta dengan cara sangat mudah.
Aku tak berani memintamu menyalami tangan para pekerja keras itu. Tapi, sebuah senyum pada mereka semoga tak menjadi beban layaknya kehilangan uang karena nilai sahammu turun. Bila masih berat, setidaknya kita mengerti mereka bukan bahan yang tepat untuk jadi lelucon yang bisa kita tertawakan bersama teman-teman. Lebih tepatnya, ini yang kuucapkan pada diriku sendiri. Kini, dengan kerja keras mereka aku bisa melewati trotoar jalan Casablanca dengan lebih leluasa. Terima kasih Pak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular