Sumber Ilustrasi: http://makesmebelieveinnothing.blogspot.com |
Jangan
salah mengerti. Judul ini memang bercerita tentang tukang pukul, namun bukan
seperti debt collector atau bodyguard yang biasa kita lihat di
sinetron atau film.
Suatu
malam, jalanan dari arah Kokas menuju jembatan Casablanca disesaki oleh mobil
dan motor. Padahal, biasanya rute ini tak pernah sepadat arah sebaliknya yang
menuju Kampung Melayu. Aku pun memutuskan untuk berjalan kaki. Terakhir aku cek,
jaraknya sekitar satu kilometer. Yah, lumayanlah untuk melemaskan kaki.
Sambil
melangkah gotai, aku menyadari bahwa di samping-samping jalan telah berdiri
beberapa gubuk. Beberapa orang bersarung terlihat terlentang di dalamnya dan
beberapa lainnya duduk-duduk di depan. Trotoar hancur dan penuh lobang yang
biasa aku saksikan kini menjadi tumpukan tanah di satu sisi jalan dan batu-batu
paving telah dicongkel dan ditumpuk menjadi satu. “Akhirnya, pemerintah mulai
peduli dengan nasib pejalan kaki yang selalu tersandung dan diserempet
pengendara tak tahu diri,” batinku dalam hati.
Lalu
apa yang menarik dari perbaikan trotoar ini? Dan, apa hubungannya dengan tukang
pukul? Sambil berjalan, mataku terantuk pada sosok seseorang di kejauhan. Dari
sela-sela kupingku yang tersumbat headset
dan lamat-lamat lagu U2 yang kuunduh gratis dari iTunes, aku mendengar bunyi dentingan
yang semakin lama semakin kencang. Kini aku mengenali sosok itu. Dengan helm
kuning yang dipasang sekenanya di kepala, aku langsung mengenalinya sebagai
pekerja proyek. Sepatu bot hitam lusuh, kaos tanpa lengan dengan ujung-ujungnya
yang agak tergulung, dan celana butut penuh debu adalah tiga busana lain yang
membukus tubuh pria umur 35-40 tahunan itu.
Dari
tempatku berjalan, pria ini begitu menyatu dengan warna malam. Bisa jadi, kau
tak akan bisa melihatnya bila tanpa helm kuning yang bertengger di atas
tubuhnya. Semakin dekat, aku makin bisa melihatnya sosok itu begitu kokoh bagai
tembok. Urat-uratnya menyembul keluar dan otot bisepnya mirip binaragawan yang
menghabiskan berjam-jam waktu di tempat gym. Bedanya, yang ini hanya bisa
melihat onggokan tanah sementara yang lain bisa bercengkerama dengan perempuan
dan tante-tante seksi berbalut busana minim.
Suara
dentingan yang sedari tadi kudengar semakin memekakkan telinga. Ternyata, suara
itu berasal dari dentuman palu besar yang berada di tangan pria itu. Ia sedang
berusaha menghancurkan sebuah tempat duduk beton agar paving-paving baru bisa
dipasang. Dari panjang tempat duduk yang sekitar tiga meter dan tinggi selutut,
pria itu baru menyelesaikan kurang dari sepertiganya. Urat-urat kawat terlihat
menyembul dari ujung yang telah ia hancurkan. Aku membatin, betapa pekerjaan
ini begitu mudah dilakukan bila ada alat berat yang bisa dipakai. Mungkin, sang
kontraktor tak punya bujet yang cukup. Atau, biarlah sang pekerja yang
menyelesaikan, toh ia dapat jaminan
asuransi yang bisa jadi tak ia mengerti cara menggunakannya.
Pekerja lain sedang membereskan hasil kerja bapak yang kulihat malam sebelumnya |
Tukang
pukul batu, itulah kata pertama yang muncul di benakku. Aku menolehkan
pandanganku ke arah gedung-gedung tinggi yang berada di seberang jalan, The
Park Lane Hotel, Puri Casablanca, dan Taman Rasuna. Betapa kota metropolitan
ini dibangun oleh tangan-tangan “kecil” yang baru kusaksikan. Realitas ini
mungkin bukan hal baru. Semua orang tahu gedung-gedung mewah dan tinggi
dibangun oleh para buruh dan kelas pekerja. Saking umumnya pengetahuan ini,
mungkin tak sedikit pula yang merasa kurang penting untuk dibahas. Tapi, entah
bagaimana pemandangan yang baru kulihat tadi justru berhasil memantik energi di
salah satu saraf di otakku yang kemudian berkelindan dengan saraf yang lain.
Tak sadar, bayangan Cleopatra dan Firaun malah berkelebat membentuk lorong
waktu.
Yup,
tak ada satu pun masterpiece dunia
yang berhasil tegak tanpa peluh dan kerja keras kaum buruh. Bila kau arsitek,
bisakah kau bangun Taj Mahal tanpa bantuan sekian ratus ribu pekerja? Bahkan
bila kau seorang Soekarno, bisakah kau bangun Stadion GBK, Masjid Istiqlal, dan
Monas tanpa bantuan para tukang pukul batu? Konon, pembangunan Piramida di
Mesir telah berlangsung sejak 2670 hingga 664 Sebelum Masehi.
Untuk mengerjakan piramida Giza yang paling besar dan terkenal, katanya dibutuhkan
2,3 juta balok batu dengan berat masing-masing 2,5 ton dan 20 tahun masa pengerjaan.
Soal para pekerja, Herodotus menulis tak kurang dari 100 ribu orang budak yang
terlibat. Namun, pendapat lain menyebutkan hanya sekitar 20 ribu orang yang
dipekerjakan.
Iseng
saja, aku kadang bertanya berapa besar uang yang didapat para “tenaga kasar”
(yang dengan kekasarannya telah membuat sebagian orang yang lain bekerja
“halus”) ini mendapat upah. Bila sampai kisaran Rp 3 juta yang berarti lebih
tinggi dari UMR Jakarta, mungkin saja orang-orang ini bangga karena bisa mendapat
penghasilan lebih tinggi dari kebanyakan orang di kampungnya. Pun saat pulang
kampung, mereka akan disambut dengan senyum sumringah sang istri yang juga
bangga karena suaminya bekerja di kota. Bagi sebagian masyarakat, lokasi mata
pencaharian suami dapat meningkatkan status sosialnya di mata orang lain.
Padahal, ia tak tahu sang suami harus bekerja sampai malam dan kadang mengobati
sakit maag dengan mengoleskan balsam sebanyak-banyaknya ke bagian perut karena
dikira kram.
Bandingkan
dengan sebagian orang lain yang dengan pengetahuannya bisa kita sebut “mujur.” Anggaplah,
orang ini memiliki uang Rp 100 juta yang ia tempatkan di tabungan deposito
dengan tingkat bunga 7% per tahun. Tanpa perlu memikul palu besar yang harus ia
hantamkan sekeras mungkin ke atas tempat duduk beton, ia bisa menghasilkan Rp 7
juta dengan cara sangat mudah.
Aku
tak berani memintamu menyalami tangan para pekerja keras itu. Tapi, sebuah
senyum pada mereka semoga tak menjadi beban layaknya kehilangan uang karena
nilai sahammu turun. Bila masih berat, setidaknya kita mengerti mereka bukan
bahan yang tepat untuk jadi lelucon yang bisa kita tertawakan bersama
teman-teman. Lebih tepatnya, ini yang kuucapkan pada diriku sendiri. Kini,
dengan kerja keras mereka aku bisa melewati trotoar jalan Casablanca dengan lebih
leluasa. Terima kasih Pak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar