Sumber Ilustrasi: www.newyorker.com |
Ini adalah kisah yang
hampir tidak pernah kuceritakan pada orang lain. Kisah ini bermula saat aku
baru saja lulus SMA (setingkat). Waktu itu masyarakat Indonesia masih dalam
euforia film-film yang diadaptasi dari novel-novel laris, salah satunya
Ayat-Ayat Cinta. Sebelum kulanjutkan bercerita, ada baiknya kita menyegarkan
kembali ingatan tentang film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu. Sekalian
saja, anggaplah tulisan ini sebagai sebuah journey
yang untuk bisa menikmatinya kau harus bisa merasakan vibe dan semangatku kala itu.
Pertama-tama, kau harus
mendengarkan lagu yang selama berbulan-bulan menjadi hits di Tanah Air. Bila
kau pernah menonton film Ayat-Ayat Cinta, tentu kau familiar dengan lagu yang
dinyanyikan Rossa dan Sherina ini. Kuharap kau tak menolak. Dengarkan saja
sejenak. Bila mau, kau juga bisa ikut bernyanyi.
Bila kau sudah kembali ke masa-masa itu, mari simak kisahku.
Sudah lama aku memendam
keinginan untuk sekolah ke luar negeri. Karena sekolahku adalah sekolah agama,
aku memantapkan niat untuk kuliah di salah satu kampus tertua di dunia,
Al-Azhar Kairo. Sudah lama aku tahu Al-Azhar adalah kampus yang prestisius,
bahkan jauh sebelum aku menonton film Ayat-Ayat Cinta. Yup, setelah menonton filmnya semangatku makin menggebu-gebu. Keinginan
untuk sekadar berdiri di hadapan sungai Nil dan memandang matahari tenggelam di
ujungnya seakan tak terbendung lagi. Bukankah kau pernah mendengar
cerita-cerita menarik tentang sungai ini? Sungai Nil menjadi salah satu pusat
kebudayaan tertua di dunia. Bila kau tak percaya, bukalah buku-buku pelajaran
SD milik adik, sepupu, maupun keponakanmu. Bagiku pribadi, salah satu daya
tarik Mesir adalah kisah tentang Cleopatra, sang penguasa yang jelita.
Singkat cerita, aku
mendaftar untuk mengikuti ujian beasiswa Departemen Agama ke Al-Azhar University.
Semua persyaratan aku baca baik-baik dan kuupayakan sekuat tenaga. Bersama
beberapa orang teman, aku pergi ke IAIN Sunan Ampel untuk mengikuti seleksi.
Dengan senjata lengkap, maksudnya materi tes dan perlengkapan administrasi, aku
masuk ke dalam aula besar dengan (mungkin) ribuan orang yang telah mengambil
tempat duduk, menunggu bel penanda tes berbunyi.
Pada tahun-tahun
sebelumnya, Depag biasanya menggelar dua jenis seleksi. Seleksi pertama adalah
seleksi untuk calon mahasiswa yang akan berangkat dengan biaya sendiri. Seleksi
kedua adalah seleksi bagi calon mahasiswa yang diberangkatkan dengan beasiswa.
Ternyata, peraturan itu berganti. Pada tahun aku mengikuti seleksi, Depag
memberlakukan satu jenis seleksi. Seratus (kalau tidak salah) calon mahasiswa
dengan nilai tertinggi akan berangkat dengan beasiswa sedangkan yang lain,
selama nilainya memenuhi, dapat berangkat dengan biaya sendiri. Kalau membaca
judul tulisan ini, kau mungkin langsung menduga aku tak masuk dalam kriteria
itu. Benar begitu ‘kan?
Pada hari pengumuman,
namaku ternyata masuk dalam shortlist.
Aku langsung mengucap syukur yang tak terkira. Perasaan itu mirip kebahagiaan anak
SD yang tanpa sengaja menemukan uang Rp 100 ribu di kantong celana pendek warna
merah yang ia pakai saat upacara bendera. Uang yang mungkin ditaruh sang ibu
dengan sengaja sebagai kejutan di hari ulang tahunnya. Tapi itu belum apa-apa.
Aku harus mengikuti tes wawancara akhir di kedutaan Mesir yang berlokasi di
Jakarta.
Bimbang. Aku tak pernah menginjakkan kaki di Ibukota yang kata orang begitu
sangar dan dipenuhi preman. Mau naik apa ke sana? Ingin menginap di mana? Meski
begitu, aku memimpikan diriku menjadi Fahri dalam buku Habiburrahman El Shirazy.
Berjalan di tengah sibuknya pasar Nasr City, bertemu seorang perempuan cantik
di atas bus, dan lalu jatuh cinta. Ah… imajinasi yang indah (kata temanku yang
kuliah di Al-Azhar, cerita nyata mahasiswa di sana tak seimajinatif gambaran Ayat-Ayat
Cinta, haha).
Belum sempat mengikut
wawancara di Kedutaan Mesir, berita lain tiba. Bukan kabar duka, tapi justru
kebahagiaan yang tak jauh berbeda. Aplikasi beasiswaku yang lain ternyata
diterima, bahkan sudah final dan tinggal registrasi ulang. Babak dilema pun
dimulai. Sampai di titik ini, kau mungkin berpendapat betapa beruntungnya diriku.
Ya, aku memang beruntung. Tapi, bukan berarti tak ada fase-fase sulit yang
harus kulalui (dan tak akan kuceritakan di sini, hehe. Takut lebay -> LebayPhenomenon).
Jadi, karena keberangkatan
beasiswa ke Mesir (kalau dinyatakan lolos) akan dilakukan setahun setelah
pendaftar diterima, aku memutuskan tak melanjutkan proses. Lagipula, kuotanya
bisa digunakan oleh orang lain yang mungkin lebih membutuhkan. Toh, aku sudah tak sabar untuk segera
kuliah dan perkuliahan beasiswa yang satunya lagi akan segera dimulai. Perjumpaan
dengan Cleopatra pun gagal, padahal aku begitu penasaran untuk mengunjungi
situs-situs yang menjadi saksi bisu kejayaannya. Semoga niat mengunjungi pusara
Cleopatra hanya tertunda :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar