Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Minggu, 25 Januari 2015

Gagal Berjumpa Cleopatra


Sumber Ilustrasi: www.newyorker.com
Ini adalah kisah yang hampir tidak pernah kuceritakan pada orang lain. Kisah ini bermula saat aku baru saja lulus SMA (setingkat). Waktu itu masyarakat Indonesia masih dalam euforia film-film yang diadaptasi dari novel-novel laris, salah satunya Ayat-Ayat Cinta. Sebelum kulanjutkan bercerita, ada baiknya kita menyegarkan kembali ingatan tentang film yang disutradarai Hanung Bramantyo itu. Sekalian saja, anggaplah tulisan ini sebagai sebuah journey yang untuk bisa menikmatinya kau harus bisa merasakan vibe dan semangatku kala itu.

Pertama-tama, kau harus mendengarkan lagu yang selama berbulan-bulan menjadi hits di Tanah Air. Bila kau pernah menonton film Ayat-Ayat Cinta, tentu kau familiar dengan lagu yang dinyanyikan Rossa dan Sherina ini. Kuharap kau tak menolak. Dengarkan saja sejenak. Bila mau, kau juga bisa ikut bernyanyi. 

 
Bila kau sudah kembali ke masa-masa itu, mari simak kisahku.

Sudah lama aku memendam keinginan untuk sekolah ke luar negeri. Karena sekolahku adalah sekolah agama, aku memantapkan niat untuk kuliah di salah satu kampus tertua di dunia, Al-Azhar Kairo. Sudah lama aku tahu Al-Azhar adalah kampus yang prestisius, bahkan jauh sebelum aku menonton film Ayat-Ayat Cinta. Yup, setelah menonton filmnya semangatku makin menggebu-gebu. Keinginan untuk sekadar berdiri di hadapan sungai Nil dan memandang matahari tenggelam di ujungnya seakan tak terbendung lagi. Bukankah kau pernah mendengar cerita-cerita menarik tentang sungai ini? Sungai Nil menjadi salah satu pusat kebudayaan tertua di dunia. Bila kau tak percaya, bukalah buku-buku pelajaran SD milik adik, sepupu, maupun keponakanmu. Bagiku pribadi, salah satu daya tarik Mesir adalah kisah tentang Cleopatra, sang penguasa yang jelita.

Singkat cerita, aku mendaftar untuk mengikuti ujian beasiswa Departemen Agama ke Al-Azhar University. Semua persyaratan aku baca baik-baik dan kuupayakan sekuat tenaga. Bersama beberapa orang teman, aku pergi ke IAIN Sunan Ampel untuk mengikuti seleksi. Dengan senjata lengkap, maksudnya materi tes dan perlengkapan administrasi, aku masuk ke dalam aula besar dengan (mungkin) ribuan orang yang telah mengambil tempat duduk, menunggu bel penanda tes berbunyi.

Pada tahun-tahun sebelumnya, Depag biasanya menggelar dua jenis seleksi. Seleksi pertama adalah seleksi untuk calon mahasiswa yang akan berangkat dengan biaya sendiri. Seleksi kedua adalah seleksi bagi calon mahasiswa yang diberangkatkan dengan beasiswa. Ternyata, peraturan itu berganti. Pada tahun aku mengikuti seleksi, Depag memberlakukan satu jenis seleksi. Seratus (kalau tidak salah) calon mahasiswa dengan nilai tertinggi akan berangkat dengan beasiswa sedangkan yang lain, selama nilainya memenuhi, dapat berangkat dengan biaya sendiri. Kalau membaca judul tulisan ini, kau mungkin langsung menduga aku tak masuk dalam kriteria itu. Benar begitu ‘kan?

Pada hari pengumuman, namaku ternyata masuk dalam shortlist. Aku langsung mengucap syukur yang tak terkira. Perasaan itu mirip kebahagiaan anak SD yang tanpa sengaja menemukan uang Rp 100 ribu di kantong celana pendek warna merah yang ia pakai saat upacara bendera. Uang yang mungkin ditaruh sang ibu dengan sengaja sebagai kejutan di hari ulang tahunnya. Tapi itu belum apa-apa. Aku harus mengikuti tes wawancara akhir di kedutaan Mesir yang berlokasi di Jakarta. 

Bimbang. Aku tak pernah menginjakkan kaki di Ibukota yang kata orang begitu sangar dan dipenuhi preman. Mau naik apa ke sana? Ingin menginap di mana? Meski begitu, aku memimpikan diriku menjadi Fahri dalam buku Habiburrahman El Shirazy. Berjalan di tengah sibuknya pasar Nasr City, bertemu seorang perempuan cantik di atas bus, dan lalu jatuh cinta. Ah… imajinasi yang indah (kata temanku yang kuliah di Al-Azhar, cerita nyata mahasiswa di sana tak seimajinatif gambaran Ayat-Ayat Cinta, haha). 

Belum sempat mengikut wawancara di Kedutaan Mesir, berita lain tiba. Bukan kabar duka, tapi justru kebahagiaan yang tak jauh berbeda. Aplikasi beasiswaku yang lain ternyata diterima, bahkan sudah final dan tinggal registrasi ulang. Babak dilema pun dimulai. Sampai di titik ini, kau mungkin berpendapat betapa beruntungnya diriku. Ya, aku memang beruntung. Tapi, bukan berarti tak ada fase-fase sulit yang harus kulalui (dan tak akan kuceritakan di sini, hehe. Takut lebay -> LebayPhenomenon).

Jadi, karena keberangkatan beasiswa ke Mesir (kalau dinyatakan lolos) akan dilakukan setahun setelah pendaftar diterima, aku memutuskan tak melanjutkan proses. Lagipula, kuotanya bisa digunakan oleh orang lain yang mungkin lebih membutuhkan. Toh, aku sudah tak sabar untuk segera kuliah dan perkuliahan beasiswa yang satunya lagi akan segera dimulai. Perjumpaan dengan Cleopatra pun gagal, padahal aku begitu penasaran untuk mengunjungi situs-situs yang menjadi saksi bisu kejayaannya. Semoga niat mengunjungi pusara Cleopatra hanya tertunda :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular