Sumber Ilustrasi: http://wallpicshd.com |
Ibarat pedagang, kita selalu tawar
menawar dengan Tuhan tentang banyak hal. Pada banyak kesempatan, Tuhan seringkali mengalah.
Bila tidak, kita terus merengek agar Ia mau mengalah saja. Seringkali, kita menganggapNya
tak tahu apa-apa soal hasrat dan gairah manusia.
Sambil
duduk di sebuah kedai kopi dengan buku yang hanya sempat terbaca beberapa
lembar, aku memutuskan untuk menulis saja. Aneh, beberapa minggu ini
komunikasiku dengan Tuhan seperti bermasalah. Mungkin Ia bosan dengan semua
permintaan yang kusampaikan. Mungkin pula Ia jengah karena aku meminta terlalu
banyak. Kadang, aku merasa bersalah karena hubunganku denganNya selalu
transaksional.
Memang
benar. Aku mulai menyadari hampir semua yang kulakukan untukNya selalu didasari
kepentingan. Aku beribadah karena orang-orang mengatakan aku bisa masuk surga,
sebuah tempat yang penuh kenikmatan dan dihuni bidadari-bidadari cantik nan mempesona.
Aku berdoa, dan hampir semua isinya tentang keinginan dan permintaan. Habis mau
apa lagi? Bukankah Tuhan telah memiliki segalanya? Lagi pula, banyak ayat
mengatakan “mintalah padaKu, pasti Kuberi.” Aku rasa, Tuhan memiliki terlalu
banyak hal sehingga boleh saja aku meminta apa saja.
Dari
semua permintaan yang pernah kusampaikan, beberapa hal Tuhan berikan. Kadang
cepat, kadang pula lambat. Namun, beberapa keinginan sepertinya tak mau Ia penuhi
meski aku sangat butuhkan. Kadang aku membatin, “Tak maukah Kau mendengarku sekali
saja Tuhan?”
Sebelum
permintaanku akhirnya terpenuhi, baik secara cepat maupun lambat, pada rentang
penantian itulah aku sering menduga-duga apa yang sedang Tuhan pikirkan.
Mungkinkah Ia belum mendengar doa yang kupanjatkan? Ataukah Ia sengaja mengulur
waktu agar aku gelisah? Apakah Ia menungguku memberikanNya sesuatu sebelum akhirnya
memenuhi keinginanku? Mungkinkah permintaanku terlalu berat? Ataukah Ia sedang
marah dan ingin menghukumku? Ah, aku tak tahu.
Sejenak
aku membayangkan kami bagaikan dua pihak yang sedang bertransaksi. Aku sang
pembeli dan Ia sang penjual. Sebenarnya, aku tahu Ia tak mungkin berharap
banyak dariku yang tak punya apa-apa. Tapi justru itu yang menjadi kekhawatiran
terbesarku. Bila Ia tak butuh apa-apa dariku, mengapa Ia harus penuhi permintaanku?
Wah, bila saja Ia berpaling, aku bisa berada dalam masalah besar. Kondisiku
seperti pengemis yang datang ke rumah tuan tanah untuk meminta belas kasihan.
Si tuan tanah bisa saja mengusirnya dengan melepas anjing penjaga, toh sang pengemis juga tak bisa
memberikannya apa-apa. Semua tergantung pada kebaikan hati si pemilik kuasa.
Sebenarnya,
aku sedang berusaha merumuskan pola interaksiku dengan Tuhan. Aku sadar ini
bukan seperti kurva supply dan demand karena satu-satunya pihak yang
berkepentingan adalah aku seorang. Herannya, dalam beberapa kesempatan aku
merasa seakan punya nilai tawar. Aku seolah bisa mengatakan
padaNya, “Tuhan, beri aku ini dan itu atau Kau akan tahu akibatnya.” Mungkin Ia
hanya tertawa seandainya aku benar-benar melakukannya.
(Sambil
melihat tiga orang perempuan yang sedang makan burger di depanku – aku masih di
kedai kopi) Sepintas saja sebuah ide datang ke benakku. Menurutmu, bagaimana
bila seandainya aku berhenti saja meminta padaNya? Mungkinkan hal ini akan
menaikkan nilai tawarku? Aku akan tetap menjalankan ibadah seperti yang selama
ini kulakukan, namun aku tak akan meminta apa-apa kepadaNya dan membiarkan
semua hal terjadi secara natural tanpa berharap Ia mengintervensi.
Pernahkah
kau mendengar sebuah cerita tentang seorang ayah dan dua anak laki-lakinya?
Alkisah, ada seorang ayah yang memiliki dua orang putra. Setiap kali sang ayah
pergi ke luar kota, anak pertama selalu meminta oleh-oleh ini dan itu. Di sisi
lain, anak keduanya justru tak pernah minta apa-apa. Karena takut dianggap tak
adil, setiap akan bepergian sang ayah selalu menanyai apa yang diinginkan anak
keduanya. Namun, tetap saja si anak mengatakan tak mau apa-apa.
Singkat
cerita, sang ayah mulai bosan selalu dimintai banyak hal oleh anak pertamanya
dan merasa kasihan kepada anak keduanya. Setiap kali ada kesempatan, sang ayah
akan membelikan barang-barang untuk si anak kedua meski tanpa ia minta. Aku
sadar Tuhan bukanlah manusia. Ia tentu tak punya tendensi manusiawi seperti
itu. Namun, bila seandainya aku bersikap seperti anak kedua, bisa jadi Tuhan akan
lebih memperhatikanku. Siapa tahu itu terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar