Emerald City

Emerald City
An Evening in Emerald City (source: personal document)

Sabtu, 07 Maret 2015

Berbisnis Dengan Tuhan


Sumber Ilustrasi: http://wallpicshd.com
Ibarat pedagang, kita selalu tawar menawar dengan Tuhan tentang banyak hal. Pada banyak kesempatan, Tuhan seringkali mengalah. Bila tidak, kita terus merengek agar Ia mau mengalah saja. Seringkali, kita menganggapNya tak tahu apa-apa soal hasrat dan gairah manusia.

Sambil duduk di sebuah kedai kopi dengan buku yang hanya sempat terbaca beberapa lembar, aku memutuskan untuk menulis saja. Aneh, beberapa minggu ini komunikasiku dengan Tuhan seperti bermasalah. Mungkin Ia bosan dengan semua permintaan yang kusampaikan. Mungkin pula Ia jengah karena aku meminta terlalu banyak. Kadang, aku merasa bersalah karena hubunganku denganNya selalu transaksional.

Memang benar. Aku mulai menyadari hampir semua yang kulakukan untukNya selalu didasari kepentingan. Aku beribadah karena orang-orang mengatakan aku bisa masuk surga, sebuah tempat yang penuh kenikmatan dan dihuni bidadari-bidadari cantik nan mempesona. Aku berdoa, dan hampir semua isinya tentang keinginan dan permintaan. Habis mau apa lagi? Bukankah Tuhan telah memiliki segalanya? Lagi pula, banyak ayat mengatakan “mintalah padaKu, pasti Kuberi.” Aku rasa, Tuhan memiliki terlalu banyak hal sehingga boleh saja aku meminta apa saja.

Dari semua permintaan yang pernah kusampaikan, beberapa hal Tuhan berikan. Kadang cepat, kadang pula lambat. Namun, beberapa keinginan sepertinya tak mau Ia penuhi meski aku sangat butuhkan. Kadang aku membatin, “Tak maukah Kau mendengarku sekali saja Tuhan?”

Sebelum permintaanku akhirnya terpenuhi, baik secara cepat maupun lambat, pada rentang penantian itulah aku sering menduga-duga apa yang sedang Tuhan pikirkan. Mungkinkah Ia belum mendengar doa yang kupanjatkan? Ataukah Ia sengaja mengulur waktu agar aku gelisah? Apakah Ia menungguku memberikanNya sesuatu sebelum akhirnya memenuhi keinginanku? Mungkinkah permintaanku terlalu berat? Ataukah Ia sedang marah dan ingin menghukumku? Ah, aku tak tahu.

Sejenak aku membayangkan kami bagaikan dua pihak yang sedang bertransaksi. Aku sang pembeli dan Ia sang penjual. Sebenarnya, aku tahu Ia tak mungkin berharap banyak dariku yang tak punya apa-apa. Tapi justru itu yang menjadi kekhawatiran terbesarku. Bila Ia tak butuh apa-apa dariku, mengapa Ia harus penuhi permintaanku? Wah, bila saja Ia berpaling, aku bisa berada dalam masalah besar. Kondisiku seperti pengemis yang datang ke rumah tuan tanah untuk meminta belas kasihan. Si tuan tanah bisa saja mengusirnya dengan melepas anjing penjaga, toh sang pengemis juga tak bisa memberikannya apa-apa. Semua tergantung pada kebaikan hati si pemilik kuasa.

Sebenarnya, aku sedang berusaha merumuskan pola interaksiku dengan Tuhan. Aku sadar ini bukan seperti kurva supply dan demand karena satu-satunya pihak yang berkepentingan adalah aku seorang. Herannya, dalam beberapa kesempatan aku merasa seakan punya nilai tawar. Aku seolah bisa mengatakan padaNya, “Tuhan, beri aku ini dan itu atau Kau akan tahu akibatnya.” Mungkin Ia hanya tertawa seandainya aku benar-benar melakukannya.

(Sambil melihat tiga orang perempuan yang sedang makan burger di depanku – aku masih di kedai kopi) Sepintas saja sebuah ide datang ke benakku. Menurutmu, bagaimana bila seandainya aku berhenti saja meminta padaNya? Mungkinkan hal ini akan menaikkan nilai tawarku? Aku akan tetap menjalankan ibadah seperti yang selama ini kulakukan, namun aku tak akan meminta apa-apa kepadaNya dan membiarkan semua hal terjadi secara natural tanpa berharap Ia mengintervensi.

Pernahkah kau mendengar sebuah cerita tentang seorang ayah dan dua anak laki-lakinya? Alkisah, ada seorang ayah yang memiliki dua orang putra. Setiap kali sang ayah pergi ke luar kota, anak pertama selalu meminta oleh-oleh ini dan itu. Di sisi lain, anak keduanya justru tak pernah minta apa-apa. Karena takut dianggap tak adil, setiap akan bepergian sang ayah selalu menanyai apa yang diinginkan anak keduanya. Namun, tetap saja si anak mengatakan tak mau apa-apa.

Singkat cerita, sang ayah mulai bosan selalu dimintai banyak hal oleh anak pertamanya dan merasa kasihan kepada anak keduanya. Setiap kali ada kesempatan, sang ayah akan membelikan barang-barang untuk si anak kedua meski tanpa ia minta. Aku sadar Tuhan bukanlah manusia. Ia tentu tak punya tendensi manusiawi seperti itu. Namun, bila seandainya aku bersikap seperti anak kedua, bisa jadi Tuhan akan lebih memperhatikanku. Siapa tahu itu terjadi.

Ah, baru saja aku ingin melepas ikatan transaksi denganMu Tuhan, aku sudah menyimpan motif-motif baru dalam hati. Betapa mudahnya Kau jadi sasaran. Maafkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular