Tokyo-Haneda International Airport (Sumber: Dokumentasi Pribadi) |
Sekitar jam 9 pagi waktu Tokyo, pesawat Garuda
Indonesia yang aku tumpangi telah sampai di Tokyo-Haneda International Airport.
Tak jauh beda dengan kondisi saat terakhir kali mengunjungi Jepang empat tahun
lalu (untuk transfer penerbangan ke Arizona), kali ini aku juga disambut dengan
langit yang kelabu dan tanah yang basah. Sejuk. Mungkin cuaca ini pula yang
membuat Jepang sangat rindang dan dipenuhi taman-taman.
Meski merupakan bandara internasional, bandara Haneda
sangat efisien sehingga akan susah untuk menemukan keriuhan orang. Semuanya
berjalan dengan ritme yang pas dan terjadwal. Sepi, mungkin itu adalah citra
yang akan pertama kali didapatkan saat baru mengunjungi bandara-bandara
internasional di Jepang. Setidaknya, begitu bagiku.
Di hadapan meja petugas imigrasi, aku katakan akan
mengunjungi Jepang sambil lalu menunggu penerbangan berikutnya yang dijadwalkan
jam 12.05 waktu Tokyo. Aku pun menunjukkan padanya visa Jepang yang kuurus di
Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya. Sebuah visa transit yang pengurusannya cukup
mudah dan murah serta berlaku lima belas hari untuk sekali masuk. Dalam hati aku
bergumam, mengapa dulu tak meminta penerbangan dengan waktu transit di Jepang lebih
lama saja, hehe.
Sejauh pengalamanku, petugas di Jepang sangat ramah
dan mudah membantu. Sayangnya, mereka tak begitu banyak menggunakan bahasa
Inggris. Entah karena kemampuan yang terbatas atau karena memang tidak ingin
menggunakan bahasa lain di tanah mereka sendiri. Mirip seperti orang-orang di
beberapa negara di Eropa yang tak mau menggunakan bahasa Inggris meski ditanya
orang asing. Walhasil, ya saling memberi isyarat.
Karena memang punya rencana untuk transit dan
menghabiskan waktu seharian di Jepang, dari Jakarta aku telah meminta petugas check-in di Bandara Soekarno-Hatta untuk
langsung mengirimkan bagasiku ke final
destination, Seattle-Tacoma International Airport. Artinya, saat transit
aku tidak perlu melakukan baggage claim
dan tinggal keluar saja dari bandara. Seluruh bagasi akan ditransfer ke
penerbangan berikutnya untuk diambil saat tiba di bandara tujuan.
Iseng-iseng, aku bertanya pada petugas imigrasi
apakah aku harus konfirmasi lagi soal check-in
through ini di Jepang. Dengan terbata-bata, ia menjawab kurang tahu dan
sebaiknya aku bertanya langsung ke help
desk lost and found yang ada di samping baggage
claim. Aku pun melewati petugas imigrasi dan segera melihat-lihat conveyor belt penerbangan GA 874.
Sudah tak banyak orang di sana. Hanya terdapat
beberapa petugas dan beberapa penumpang. Aku menuju lost and found help desk dengan logo Sky Team di
belakangnya. Tak ada orang di sana, termasuk di konter-konter sebelahnya.
Melihat diriku yang seperti mencari-cari sesuatu, seorang petugas perempuan berseragam
biru datang menghampiri. Aku katakan ingin konfirmasi tranfer bagasi dari
penerbangan barusan ke Delta Air, pesawat yang akan kutumpangi nanti malam.
Aku pun memberikan stiker yang diberikan petugas check in di Bandara Soetta. Ia
mengambilnya dan berusaha mencari sesuatu di komputer. Nampaknya, ia tidak
begitu mengerti apa yang kumaksud. Berkali-kali ia hanya mengangguk, namun
seperti orang kebingungan. Tak berapa lama, petugas lain datang. Aku jelaskan
padanya dan ia mengatakan bisa untuk langsung transfer bagasi. Aku pun berlalu
dan menuju kepabean, tentunya setelah mengatakan arigatou gozaimasu - satu-satunya kosa kata yang menjadi modalku
menjelah Jepang hari ini. (ceritanya, bener-bener bondo nekat).
Petugas kepabean memeriksa tas dan pasporku. Ia
bertanya hendak ke mana dan apa tujuanku ke Jepang. Aku jelaskan tujuan akhirku
adalah Seattle dan tak ingin menghabiskan waktu transit yang panjang hanya duduk
di bandara. Aku ingin tahu seperti apa Jepang dan bagaimana kehidupan
orang-orang di sana. Ia tersenyum. Sambil mengembalikan dokumenku, ia
mengatakan terima kasih sudah mau berkunjung ke Jepang.
Bertemu
Teman Lama
Setelah keluar dari bandara, aku duduk sejenak untuk
melihat situasi dan membaca papan-papan pengumuman. Tiap kali tiba di tempat
asing, aku cukup senang dengan aktivitas a
la intelijen ini, haha. Melihat dan mengamati orang-orang, pakaian, barang
bawaan, bahasa tubuh, konter-konter, pintu masuk dan keluar, dan seterusnya.
Sambil lalu, aku terus berusaha masuk ke akses free
Wi-Fi bandara yang tak kunjungi bisa. Masalahnya, semua petunjuk ditulis dalam
bahasa Jepang! Aku tak bisa mengenali mana kolom untuk alamat email, user name, password, ataupun konfirmasi persetujuan terms and condition. Biasanya, kolom akses free Wi-Fi tak jauh-jauh
dari itu semua.
Aku pun mendatangi salah seorang petugas berseragam.
Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, ia menunjukkan kolom nama, email, dan
konfirmasi. Yey! Akhirnya berhasil. Aku berterima kasih padanya lalu duduk di
salah satu kursi di depan international
arrival terminal. Melalui FB
Messenger, aku berusaha menghubungi Mayumi, seorang teman lama yang tinggal di
Yokohama. Kami telah membuat janji untuk bertemu di bandara.
Belum ada respons dari Mayumi, tiba-tiba ada dua
orang laki-laki menghampiriku. Dengan cepat aku menduga mereka adalah turis
yang ingin bertanya, atau barang kali pengemudi taksi yang ingin menawarkan
jasa, atau bisa saja penjahat, haha. Ternyata, Salah seorang dari mereka
mengeluarkan lencana dan memperkenalkan diri sebagai polisi bandara.
Didatangi polisi, tentu saja aku tegang. Waduh,
jangan-jangan dideportasi atau malah dianggap kriminal internasional.
Untungnya, mereka baik. Saat aku mengatakan berasal dari Indonesia, salah
seorang di antaranya ternyata juga pernah tinggal di Surabaya. Mereka
mengatakan baru saja melihatku keluar bandara dan langsung mengenaliku sebagai pendatang
baru. Mereka memberiku secarik kertas yang berisi nomor telepon darurat untuk
tindak kejahatan dan terorisme. Bila diperlukan, aku bisa menghubungi nomor tersebut
untuk meminta bantuan.
Setelah ngobrol
cukup lama, mereka pun berlalu. Aku masih berusaha menghubungi Mayumi yang kemudian
menjawab sudah tiba di bandara. Aku pun bangkit dan menuju depan pintu
kedatangan. Sekilas, aku melihat sosok punggung perempuan yang mirip Mayumi,
namun ia justru melewati pintu kedatangan dan menuju sisi sebelah kanan. Di
ponsel aku menerima pesan, “Gw ke toilet dulu ya, bentar.” Mungkin dugaanku
benar, perempuan itu adalah Mayumi. Aku pun kembali duduk di kursi semula.
Tak berapa lama kemudian, akhirnya kami bertemu.
Mayumi masih seperti dulu, namun dengan pipi yang agak tembem. Kami berpelukan
dan mulai berbagi cerita. Tak lupa, kami juga segera foto selfie. Kami lalu
membuat rencana kecil tentang tempat-tempat yang harus didatangi dalam kunjungan
singkatku yang hanya sehari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar